satu-satunya foto kita bersama, meskipun yg satu tukang fotonya. kita terlihat seger loh :D |
Pagi itu juga, semua rencana yang udah
kita buat jauh-jauh sebelumnya terpaksa digagalkan. Sederhananya, di hari
terakhir menempati TBSU kita mendapat jatah jalan-jalan yang udah disediain
pihak panitia. Sebagai tukang bawa berkas-berkas yang masih aja kurang lengkap.
Pagi itu gue harus dapat tandatangan beberapa orang buat pencairan dana
rektorat kampus gue. Gue kudu nunggu orang-orang yang bertugas sebagai panitia
sampai ada ditempat. Gue udah biarin temen gue keleleran nggak tau gimana,
sedang gue dibasecamp panitia nungguin seseorang sekaligus ngambil tebengan ini-itu
juga sekalian nebeng ngeprint itenarinya kayangan yang terbaru.
Jam delapan pagi udah fix, eh si micin
malah pergi ke pasar sama abang guide orang medan buat beli kain Ulos. Entah mau
beli berapa puluh lembar, gue Cuma nitip 2 buah aja. Males bawanya, apalagi
suruh neteng bawaan sendiri. Ribet ntar. Lagian tadi malam udah tukeran sama
bang boy anak Padang. Gue tuker sarung bali pink manis yang belinya pas acara
PPA 5 teater orok-Udayana di depansar sama kain ulos hitam bermotif cantik
milik bang boy. Beruntunglah dia mau J
Waktu michin dah balik, kita bongkar
lagi ransel-ransel trus ngepackin lagi tuh ransel. Setelah pamitan sama
temen-temen senusantara yang akan berangkat tour keliling medan, kita melaju ke
terminal Amplas ditemani seorang abang teater ‘O’, bang makin naik angkot
seharga Rp 4.000/orang. Dan selalu sama kayak hari-hari sebelumnya, sopir
angkot medan itu buas banget. Mereka gak bakalan mikir kita anak siapa, jadi
jalannya nglibas semua rambu-rambu dan etika berkendara. Sangarrr pokok’e.
Dari Amplas, kita nunggu Amy anak
teater ‘O’ yang datang bawain kacamatanya mas champin yang tadi pagi
ketinggalan d TBSU. Mana sempet hujan deres pula. Bah,,, sampai Amplas aja niat
kami udah diuji. “Jalan terus ke Parapat” atau “See you bye-bye Toba kita balik
saja”. Niat dan semangat yang kuat itu ngantar kita naik bus jurusan parapat
siang itu juga. Tiket busnya Rp 32.000/orang sampai parapat. Kemungkinan kita
akan sampai sana jam 4 sore.
Karena kelelahan, semuanya tertidur
lelap. Gue sempet ngrasain sopir busnya, sangar pisan uey klo nyetir. Bahkan kernetnya
yang asli batak udah nggak bisa ngomong pelan, pake bentak-bentak para ibu-ibu
yang jualan makanan diatas bus supaya cepet keluar. Beh… ngeri ble. Trus seorang
ibu yang kebetulan duduk disamping gue sempet tanya
“Boru
kau apa? Mo datang ke kematian siapa kau?”
“hah…
saya? #gaya pengong, padahal ibuke sandingku pas# oh, saya nggak punya boru
buk. Saya orang jawa asli”
“loh,
kenapa kau pake tuh ulos hitam?”
“(#gue
yang emang pake kain ulos buat selimut baru sadar, emang bener kata anak-anak
medan. klo tiap warna ulos itu punya arti). Oh, ini saya beli tadi bu dipasar. Buat
kenang-kenangan saja kok. Memangnya kenapa buk?”
Dari
situlah percakapan hangat kami dimulai. Gue paling sering tanya soal ulos, kain
yang bagus itu bagaimana, harga pasarannya berapa, agama, dan adat istiadat
yang berlaku disana.
Dari rentetan tebing-tebing tinggi
yang semakin terbuka, kami bisa melihat danau toba yang sangat cantik warnanya.
Udaranya segar seperti daerah Batu-Malang dan masih banyak monyet-monyet di
pinggir jalan. Kami turun di pelabuhan Parapat untuk dapat langsung menyebrang
ke tomok naik ferri seharga Rp 6.000/orang. Selama perjalanan dengan ferri itu,
aku tak henti berucap syukur. Yeah, we hve been there… toba lake, the famous
lake in southeast asia. Lihat pemandangan hijaunya, villa disepanjang garis
danau. Warna bukit hijau cerah, air terjun, air danau dan langit yang cerah. Dan
saat menyebrang itu kami tidak jumpai Adzan Magrib. Tiba di pelabuhan tomok,
kami dengan santai jalan kaki. Tak seorang pun dari rombongan kami pernah
backpacker sejauh ini.
Kami jumpai banyak anjing lepas,
penjaja shortali, dan becak modifikasi. Jalan kaki kami sudah jauh tapi yang
dicari tak kunjung bertemu. Hampir menyerah dengan malam. Jam 7 malam dua orang
dari kami mencari kendaraan, diwaktu seperti ini sudah tidak ada lagi angkuan
umum. Maka kami menyewa sebuah mobil yang bisa mengantarkan kami ke penginapan
seharga kantung mahasiswa. Mobil ini seharga Rp 70.000 sewanya.
Nggak tau bagaimana mereka berkoalisi,
malam itu juga sebuah keluarga batak menerima kami untuk mendiami penginapannya
semalam. Itu pun kami masih harus bersikukuh untuk membayar seminimal mungkin
#maklum mahasiswa# sampai akhirnya opung memberi harga Rp 150.000 per kamar. Kita
ambi dua kamar yang menghadap ke danau. Tepat didepan kamar kita. Malam itu
juga kami bongkar ulang ransel dan makan sekenanya. Senang bisa melihat toba,
tanpa bintang dan bulan. Kelam, kami datang terlalu malam dan tidak ada yang
bisa kami pandang.
You know what? Kami datang ke toba
hanya untuk “Numpang Bubuk” karena kami bertujuh sudah tewas sebelum jam 10
malam. Hahaha…
Paginya, michin tidak bisa bangun dari
tempat tidur, badannya panas dan lebih memilih tidur berselimut tebal. Mbak iin
yang sakit sewaktu masih ada di medan juga udah agak mendingan meskipun masih
panas (mimisan dan hidungnya pas nggak bisa bersahabat di kota orang) sudah
lebih mendingan. Pesut yang badannya terasa paling panas dan sampe suaranya
hilang ternyata makin parah aja pas mau nyebrang ke tomok, mas champin juga
begitu! Udah suaranya hilang, badannya panas juga. Si ketum tetep stay on
toilet, gue nggak tau kenapa kq dia betah dan nggak keluar-keluar dari toilet
pagi ini. Kayaknya sih Vomitng. Ihsan
tambah sehat aja, soalnya dia yang sakitnya paling lama. Lebih dari seminggu
sejak beberapa hari menjelang berangkat ke medan dan sampai beberapa hari
tinggal di medan. maklum, nggak tau kenapa matanya nggak bisa diajak kompromi. Padahal
udah dicekokin obat mahal berkali-kali. Sedang gue…. ~(-,-)~ gue yang selalu
berusaha terlihat sehat dan tanggap harus tumbang dan angkat tangan sejak
perjalanan naik bus sampai bermalam di toba. Gila men!!! Perut gue mules
banget, nggak kayak bulan-bulan biasanya. Ini bikin gue gak bisa move on dan
cenderung diam aja. Ya… kita ke toba Cuma pingin ketemu airnya, sekalipun kita
semua dibikin sakit (=,=)
Pagi itu juga yang udah kita rencanain
buat bangun subuh terus jalan-jalan ternyata nol besar. kita tetep stay di
penginapan. Paling banter kerumah opung dilantai dua buat beli pop mie. Pagi itu,
suasana dingin dan segar seperti momok bagi kami. Dan jam sepuluh nanti kita
harus sudah berkemas meninggalkan tuk-tuk untuk menyeberang ke parapat. Karena check
in pesawat kita jam stengah 6 petang, ditambah perjalanan Toba -> Kualanamu
lebih dari 5 jam kalau tidak macet..
jadi, apakah Toba bisa disebut happinest
atau sadness? …………….. L