post Istimewa

Sabtu, 25 Januari 2014

Toba lake… here we’re coming #Medan part 6

satu-satunya foto kita bersama, meskipun yg satu tukang fotonya. kita terlihat seger loh :D
          Pagi itu juga, semua rencana yang udah kita buat jauh-jauh sebelumnya terpaksa digagalkan. Sederhananya, di hari terakhir menempati TBSU kita mendapat jatah jalan-jalan yang udah disediain pihak panitia. Sebagai tukang bawa berkas-berkas yang masih aja kurang lengkap. Pagi itu gue harus dapat tandatangan beberapa orang buat pencairan dana rektorat kampus gue. Gue kudu nunggu orang-orang yang bertugas sebagai panitia sampai ada ditempat. Gue udah biarin temen gue keleleran nggak tau gimana, sedang gue dibasecamp panitia nungguin seseorang sekaligus ngambil tebengan ini-itu juga sekalian nebeng ngeprint itenarinya kayangan yang terbaru.

          Jam delapan pagi udah fix, eh si micin malah pergi ke pasar sama abang guide orang medan buat beli kain Ulos. Entah mau beli berapa puluh lembar, gue Cuma nitip 2 buah aja. Males bawanya, apalagi suruh neteng bawaan sendiri. Ribet ntar. Lagian tadi malam udah tukeran sama bang boy anak Padang. Gue tuker sarung bali pink manis yang belinya pas acara PPA 5 teater orok-Udayana di depansar sama kain ulos hitam bermotif cantik milik bang boy. Beruntunglah dia mau J

          Waktu michin dah balik, kita bongkar lagi ransel-ransel trus ngepackin lagi tuh ransel. Setelah pamitan sama temen-temen senusantara yang akan berangkat tour keliling medan, kita melaju ke terminal Amplas ditemani seorang abang teater ‘O’, bang makin naik angkot seharga Rp 4.000/orang. Dan selalu sama kayak hari-hari sebelumnya, sopir angkot medan itu buas banget. Mereka gak bakalan mikir kita anak siapa, jadi jalannya nglibas semua rambu-rambu dan etika berkendara. Sangarrr pokok’e.
          Dari Amplas, kita nunggu Amy anak teater ‘O’ yang datang bawain kacamatanya mas champin yang tadi pagi ketinggalan d TBSU. Mana sempet hujan deres pula. Bah,,, sampai Amplas aja niat kami udah diuji. “Jalan terus ke Parapat” atau “See you bye-bye Toba kita balik saja”. Niat dan semangat yang kuat itu ngantar kita naik bus jurusan parapat siang itu juga. Tiket busnya Rp 32.000/orang sampai parapat. Kemungkinan kita akan sampai sana jam 4 sore.

          Karena kelelahan, semuanya tertidur lelap. Gue sempet ngrasain sopir busnya, sangar pisan uey klo nyetir. Bahkan kernetnya yang asli batak udah nggak bisa ngomong pelan, pake bentak-bentak para ibu-ibu yang jualan makanan diatas bus supaya cepet keluar. Beh… ngeri ble. Trus seorang ibu yang kebetulan duduk disamping gue sempet tanya

“Boru kau apa? Mo datang ke kematian siapa kau?”
“hah… saya? #gaya pengong, padahal ibuke sandingku pas# oh, saya nggak punya boru buk. Saya orang jawa asli”
“loh, kenapa kau pake tuh ulos hitam?”
“(#gue yang emang pake kain ulos buat selimut baru sadar, emang bener kata anak-anak medan. klo tiap warna ulos itu punya arti). Oh, ini saya beli tadi bu dipasar. Buat kenang-kenangan saja kok. Memangnya kenapa buk?”

Dari situlah percakapan hangat kami dimulai. Gue paling sering tanya soal ulos, kain yang bagus itu bagaimana, harga pasarannya berapa, agama, dan adat istiadat yang berlaku disana.

          Dari rentetan tebing-tebing tinggi yang semakin terbuka, kami bisa melihat danau toba yang sangat cantik warnanya. Udaranya segar seperti daerah Batu-Malang dan masih banyak monyet-monyet di pinggir jalan. Kami turun di pelabuhan Parapat untuk dapat langsung menyebrang ke tomok naik ferri seharga Rp 6.000/orang. Selama perjalanan dengan ferri itu, aku tak henti berucap syukur. Yeah, we hve been there… toba lake, the famous lake in southeast asia. Lihat pemandangan hijaunya, villa disepanjang garis danau. Warna bukit hijau cerah, air terjun, air danau dan langit yang cerah. Dan saat menyebrang itu kami tidak jumpai Adzan Magrib. Tiba di pelabuhan tomok, kami dengan santai jalan kaki. Tak seorang pun dari rombongan kami pernah backpacker sejauh ini.

          Kami jumpai banyak anjing lepas, penjaja shortali, dan becak modifikasi. Jalan kaki kami sudah jauh tapi yang dicari tak kunjung bertemu. Hampir menyerah dengan malam. Jam 7 malam dua orang dari kami mencari kendaraan, diwaktu seperti ini sudah tidak ada lagi angkuan umum. Maka kami menyewa sebuah mobil yang bisa mengantarkan kami ke penginapan seharga kantung mahasiswa. Mobil ini seharga Rp 70.000 sewanya.

          Nggak tau bagaimana mereka berkoalisi, malam itu juga sebuah keluarga batak menerima kami untuk mendiami penginapannya semalam. Itu pun kami masih harus bersikukuh untuk membayar seminimal mungkin #maklum mahasiswa# sampai akhirnya opung memberi harga Rp 150.000 per kamar. Kita ambi dua kamar yang menghadap ke danau. Tepat didepan kamar kita. Malam itu juga kami bongkar ulang ransel dan makan sekenanya. Senang bisa melihat toba, tanpa bintang dan bulan. Kelam, kami datang terlalu malam dan tidak ada yang bisa kami pandang.

          You know what? Kami datang ke toba hanya untuk “Numpang Bubuk” karena kami bertujuh sudah tewas sebelum jam 10 malam. Hahaha…

          Paginya, michin tidak bisa bangun dari tempat tidur, badannya panas dan lebih memilih tidur berselimut tebal. Mbak iin yang sakit sewaktu masih ada di medan juga udah agak mendingan meskipun masih panas (mimisan dan hidungnya pas nggak bisa bersahabat di kota orang) sudah lebih mendingan. Pesut yang badannya terasa paling panas dan sampe suaranya hilang ternyata makin parah aja pas mau nyebrang ke tomok, mas champin juga begitu! Udah suaranya hilang, badannya panas juga. Si ketum tetep stay on toilet, gue nggak tau kenapa kq dia betah dan nggak keluar-keluar dari toilet pagi ini. Kayaknya sih Vomitng. Ihsan tambah sehat aja, soalnya dia yang sakitnya paling lama. Lebih dari seminggu sejak beberapa hari menjelang berangkat ke medan dan sampai beberapa hari tinggal di medan. maklum, nggak tau kenapa matanya nggak bisa diajak kompromi. Padahal udah dicekokin obat mahal berkali-kali. Sedang gue…. ~(-,-)~ gue yang selalu berusaha terlihat sehat dan tanggap harus tumbang dan angkat tangan sejak perjalanan naik bus sampai bermalam di toba. Gila men!!! Perut gue mules banget, nggak kayak bulan-bulan biasanya. Ini bikin gue gak bisa move on dan cenderung diam aja. Ya… kita ke toba Cuma pingin ketemu airnya, sekalipun kita semua dibikin sakit (=,=)


          Pagi itu juga yang udah kita rencanain buat bangun subuh terus jalan-jalan ternyata nol besar. kita tetep stay di penginapan. Paling banter kerumah opung dilantai dua buat beli pop mie. Pagi itu, suasana dingin dan segar seperti momok bagi kami. Dan jam sepuluh nanti kita harus sudah berkemas meninggalkan tuk-tuk untuk menyeberang ke parapat. Karena check in pesawat kita jam stengah 6 petang, ditambah perjalanan Toba -> Kualanamu lebih dari 5 jam kalau tidak macet..
jadi, apakah Toba bisa disebut happinest atau sadness? …………….. L