post Istimewa

Rabu, 18 Juli 2012

Distance


            Sudah menjadi keputusan saya ketika memilih malang sebagai tempat untuk menuntut perguruan tinggi. Batin saya bilang untuk mengikuti sunah rosul, belajar dan menjari ilmu. Sudah jadi keputusan saya juga ketika saya haru
s keluar rumah dan pergi sejauh mungkin untuk belajar, meskipun ternyata tuhan memberikan Malang sebagai jawabannya. Sejauh 189 kilometer itulah langkah yang saya awali untuk mencari pengetahuan. Malang – Jember hanyalah bentangan dua kota dengan jarak 189 kilometer. Hanya itu saja sekat untuk lebih sering berrtemu keluarga saya. Yah, sekat dengan tebal 189 kilometer. Apa itu terasa jauh?
            Lalu setelah hampir setahun ini menjalaninya, baru saya sadar bila sekat 189 kilometer itu mampu saja lewati dengan Rp 35.000,- sekali jalan. Bila saya gunakan untuk pulang pergi, maka dua kali jumlah itu. Awalnya ketika menjadi Maba (Mahasiswa Baru) itu hal yang mudah, sepele sekali hingga hal ini pun jarang terlintas dikepala. Yang ada hanya bayangan rumah disana dan kos disini. Bukan hal yang rumit dan sangat mudah sekali memutuskan untuk pulang dan berangkat. Lalu hari ini, saya dapati bahwa dompet saya sudah tidak setebal dahulu.
            Kenapa untuk sebuah universitas negeri, saya rela naik bus kurang lebih 6 jam perjalanan? Bukankah di kota saya sendiri ada universitas negeri. Tidak perlu naik bus sampai setengah hari, hanya naik sepeda motor dengan kecepatan 80 km/jam saja sudah bisa pulang-pergi. Kata ibu juga, kalau mau kuliah di universitas negeri di Jember boleh bawa sepeda motor sendiri. Bisa pulang-pergi kapan aja. Mau pulang kerumah kapan aja silahkan. Bahkan kalau perlu tak usah nge-kost, pulang-pergi saja. Rp 5.000 saja sudah sekali jalan. Tidak ada kata kangen rumah, kelaperan sampai lupa jalan menuju rumah.
            Lalu, saya mencoba berfikir ulang, mengingat apa yang telah menjadi pilihan saya. Apa yang sudah menarik hati saya untuk memilih Malang?. Lalu saya dapati ketika naik kelas 3 SMA. Saya rasa tinggal terlalu lama dengan keluarga membuat saya menjadi anak yang penakut, menjadi anak yang tidak bisa menghargai waktu, mengandalkan orang lain disaat saya sudah tak mau mengerjakan suatu hal. Mungkin itu beberapa alasan saya menjauhi rumah. Disana ada keluarga yang hangat, keluarga kecil yang dulu terpukul karena kakak laki-laki saya meninggal ketika SMP. Saat itu pula aku baru kelas 4 SD. Adikku pun masih kelas 1 SD. Itu kali kedua ibuku kehilangan putranya. Sejak saat itu pula ibu selalu keras pada kami. Mungkin karena beliau terlalu menyayangi kami. Beliau selalu menyuruh kami mengerjakan segala sesuatunya mandiri, dan paling perhatian saat kami mengalami kesulitan.
            Saya pun pernah jatuh sakit tyfus akut ketka itu, setiap hari seorang dokter desa datang ke rumah memberikan satu suntikan. Dan beberapa suntukan untuk beberapa hari kedepannya. Beliau sering bertanya
nyuwun opo ndug? Ndang waras ben gak loro terus. Ndang jaluk opo?” (minta apa nak? Cepat sembuh supaya nggak sakit terus. Ayo, kamu mau minta apa?)
Seminggu penuh suntikan, dan itu termasuk suntikan terakhir saya sampai hari ini. Beliau sangat perhatian yang aku ingat, termasuk keras pula. Untuk beberapa alasan beliau adalah lawan ayah saat memutuskan banyak hal dalam hidupku.
            Jauh dari ibu artinya tidak aka nada sarapan pagi dimeja. Tidak apa-apa. Aku masih bisa beli di warung. Lalu Malang? Malang menawarakan udara sejuknya. Udara sejuk akan menjauhkan dari panas. Menjauhkan keringat jadi urine. Mungkin kulit saya yang hitam ini bisa berubah jadi putih. Alasan yang logis. Tidak ada keluarga disini, hidup saya mugkin akan terasa bebas. Tidak ada adik yang selalu mengganggu saya belajar. Tidak ada adik saya yang mengajak bertengkar hingga main tangan. Akan lebih banyak teman. Yah, hidup saya akan lebih damai bila saya tinggal di Malang.
            Sampai saya putuskan untuk mengikuti ormawa (organisasi mahasiswa) tingakat Universitas ketika akhir semester satu. Ormawa akan membuat saya lebih sibuk, menyibukkan diri adalah alasan yang logis. Melupakan yang namanya Pacaran, Narkotika dan Keluarga. Saya akan mempunyai keluarga baru yang akan menaruh perhatian pada saya di kota yang sejuk ini. Keluarga saya disini dari banyak kota kabupaten di Jawa Timur. Saya bisa mengasah kemampuan saya dan mempunyai banyak teman dari universitas lain. Atau mungkin malah mendapatkan pacar di Ormawa.
            Ormawa yang membuat saya betah untuk tetap tinggal. Jarak pun akan tetap menjadi jarak. Malang-Jember dengan Sekat 189 kilometer membentang antara rumah saya dan kampus saya. Lalu bayangan itu muncul lagi menyadarkan saya yang dilema akan jarak. Ternyata, saya masih beruntung bisa kuliah di universitas negeri di kota yang sejuk ini selama 4 tahun tanpa harus membayar segala tarif akademiknya. Beasiswa.. saya mendapatkannya, artinya saya akan lebih rajin belajar untuk mengabdi pada Negara ini. Saya harus berubah, distance bukan halangan untuk tetap bersedih. Saya punya kesempatan merubah nasib, saya punya kesempatan untuk belajar, dan masih ada banyak kesempatan sebelum saya mengenal dan terikat dengan anda. Terakhir, yang saya ingat untuk diperjuangkan adalah saya ada di kota ini untuk Belajar. Terima kasih Allah untuk kesempatan berharga ini.