Kak,
bagaimana menjelaskan tentang kehidupan orang lain ketika kehidupan kita
sendiri tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Apa perlu kita menjadi bagian
penyebar berita kehidupan orang lain kepada yang lain hanya untuk memasukkan
nama kita pada kisah perjalanan orang tadi? Itu memang sah-sah saja bila kita
menyelundupkan diri sendiri pada kehidupan yang lain agar kita bisa bertahan hidup. Percayalah kak, kehidupan
tidak selalu kering kerontang tak berair, tapi juga basah dengan air mata.
Suatu
sore kita duduk dilantai rumah, dekat meunasah orang Aceh yang terus
melantunkan ayat suci. Mereka sedang riang beribadah menyambut hari kelahiran
pembawa petunjuk, Sang Nabi. Aku ada diantara orang-orang yang berniat belajar
agama, tapi pikiranku kosong. Aku tersandar dengan headset dan lagu yang
berdendang riang di telingaku yang tertutupi hijab. Seraya berdialog dengan
diriku sendiri, “Kenapa aku ada disini sayang?”
Lalu
tatap mataku melihat gerakanmu. Kau terdiam manis dengan senyum tersungging
pergi begitu saja. Sedang aku asyik dengan setumpuk kitab dan pembicaraan
tentang hadist. Ya, saat itu aku tersadar bahwa aku terlalu sibuk memikirkanmu,
hingga membuatku bingung menentukan sikap. Aku memikirkanmu diantara sekumpulan
orang dengan kitabnya disini…
Tadi
malam aku tak sengaja bercakap-cakap dengan kak sovia. Dia mendatangiku saat
aku sedang mengemas barang-barang peninggalan saudara tuaku yang telah pergi,
mengemas beberapa sertifikat yang hendak kubagikan pada yang lain yang sedang
asyik bermain diluar sana. Entah darimana asalnya, seingatku kami berbicara
tentang masa lalu, perasaanku dan apa yang sebaiknya aku lakukan pada masa
mendatang. Tiba-tiba semua pembicaraan kami mengarah pada satu hal, Kering
Kerontang.
Kak,
kami berbicara tentang kering kerontang. Tentang kamu yang mampu berjalan lurus
namun tidak meninggalkan banyak arti. Bukan, namun tidak pernah memberi arti. Dulu
kita berjalan beriringan bersama, lalu langkah kaki kita terhapus ombak yang
datang dari arah belakang. Semua yang telah kita lakukan dan kita bangun,
lenyap tak bersisa karena kita tidak pernah memberi arti.
Dulu,
boleh saja kau berkata bahwa aku adalah penyebab kerajinanmu untuk datang. Untuk
melakukan banyak tugas yang ditanggungkan pada kita. Setelah kita terlepas satu
sama lain, aku tidak tau bagaimana “Pengganti” menjagamu dengan bijaksana. Atau
mungkin kau sendiri yang terlalu kaku sehingga hidupmu sendiri seperti jalan
lurus. Ya, selurus pandangan logismu yang tak ubah jalan lurus. Kau menutup
mata, hati dan pikiranmu untuk yang lain. Hati yang lain, pemandangan yang lain
dan pemikiran yang lain. Itulah sumber penyebab kekakuan sikapmu.
Bahkan
aku dan kak sovia memiliki banyak alasan yang menyebabkan kau lebih kaku dari
seorang otoriter. Keluarga, mungkin keluarga yang baik-baik saja dan selalu
menyayangi hingga lupa bagaimana mengajarkan adaptasi lingkungan padamu. Dan itu
yang membuatmu tidak mempunyai teman, atau mungkin sahabat. Seingatku, kau
seorang yang cuek dan menutup diri. Apakah kau pernah terbuka dengan cara
berbicara tentang masalah yang muncul pada keluargamu? Tentang posisimu sebagai
penanggungjawab rumah kita? Tentang keuangan atau mungkin makanan yang enak? Atau
tentang hati?
Bukankah
tidak pernah, ya,,, kau tidak pernah terbuka pada kami.
It’s
okay, aku tidak pernah menghakimimu dalam tulisanku kak. Aku hanya mencoba
membuka pemikiranmu. Sudut pandang kita bukan 90˚ tapi 360˚. Kita tidak bisa
memandang sesuatu dengan sudut pandang kita sendiri. Karena kita ditakdirkan
hidup dengan yang lain.
Kering
kerontang, mungkin hidupmu mulus seperti jalan aspal. Pemikiran logismu telah
ikut mengantarkan kita pada titik tertinggi. Ini lebih dari itu, bukalah matamu…
hidup juga perlu basah agar kita prihatin pada nasib dan pemikiran orang lain.
@Rosita_dy