post Istimewa

Senin, 10 Agustus 2015

Sebotol Kejujuran

          Badanku menggigil, aku mulai gelisah memandangi kelima temanku yang duduk membentuk bundaran. Aku duduk cemas sambil berdo’a komat-kamit berharap ujung botol itu tidak mengarah kepadaku saat ini. tiap level kecemasan selalu bertambah saat salah seorang dari kami menutup pernyataan terakhirnya. Mati!!! Giliranku!

“Siapa orang yang kamu benci dirumah ini?” tanya A.
“Siapa orang yang membuatmu malas datang ke rumah ini?” tanya B.
“Apakah kamu benar-benar menyukai Logus dengan sebenar-benarnya? Dia kan jelek! Kamu serius? Apa alasanmu? Tanya E.
“Untuk kedepan siapakah diantara dua orang yang akan kamu pilih? Lelaki yang kaya atau lelaki yang punya cinta?” tanya C.
“bukankah dalam perjalanan selama beberapa ratus hari ini kamu dipasangkan dengan seseorang? Bukan hanya mas F saja. Apakah kamu sering dan masih berhubungan dengannya?” tanya D.

Sedangkan G hanya duduk termenung bermain gitar di belakang kami sambil sesekali mengiringi lagu yang cocok untuk suara hati kami yang meluap-luap bak sungai kebanjiran.
          “Jujur saja” adalah kalimat yang dikatakan diawal pernyataan. Mungkin sebagai ajimat untuk mengantarkan lidah mengatakan kebenaran. Kemudian kecemasan itu berangsur-angsur menghilang saat semua pertanyaan telah selesai terjawab. Selama pertanyaan itu tidak sepribadi seperti curhatanku dengan Tuhan, tapi aku menikmatinya, menikmati bagaimana seseorang mencoba berkata jujur mengenai apa yang ada diantara pikiran dan perasaannya.
          Sebotol bir coklat tua yang telah kosong berbentuk panjang dengan leher botol lebih panjang dan memiliki proporsi seimbang untuk kami putar telah terbaring di lantai dan siap untuk kami putar kembali. Percepatan botol itu berkurang setelah ia lelah berputar dan menuju seseorang pada moncong tutupnya, seorang mangsa yang siap kami korek kehidupan pribadinya.
          Banyak rahasia pribadi orang lain yang ingin aku ketahui, terutama yang menyangkut tentang keberadaanku dalam kehidupan mereka. Selebihnya permainan kata-kata agar sebuah pernyataan berlanjut pada pernyataan, bukan kebohongan. Aku rasa mereka cukup jujur untuk menjawab tiap pertanyaan yang datang.
          Seperti halnya Kuda, sapaan kebun binatang untuk orang yang pada awalnya pernah spesial. Ternyata aku memang tidak benar-benar ada dalam kehidupannya, dia tidak pernah menganggapku sedemikian. Terganggu akan kehadiran dan omonganku saja tidak. Oke, aku terlalu membuang waktu dengan menebar jala. Aku rasa yang kubutuhkan kedepan hanya fokus, just focus,,, just it..... Saat giliranku bertanya untuk mendapatkan penegasan pengakuan darinya, dia tetap saja menganggapku tidak benar-benar ada dalam lingkaran matanya. Alasannya sederhana, bertahan dengan seseorang saja, bertahan dengan orang yang sama sejak 8 tahun yang lalu, karena aku yang terlalu banyak melihat lelaki lain disampingku, menganggapku biasa dan pada garis besarnya “aku benar-benar tidak ada”. Saat ini dan kedepannya aku hanya perlu menekankan bahwa aku benar-benar tidak ada dalam kehidupannya.
          Namun ada satu hal penting yang aku sadari, ternyata orang yang benar-benar aku minta pada tuhan di akhir Shalatku ada dalam satu ruangan disini. Aku tak pernah menyebut namanya disetiap obrolan, tak pernah membayangkan wajah dan keadaannya, hanya benar-benar memperhatikannya saat dia bisa dijangkau dengan mataku. Tapi aku tau, orang seburuk aku tidak mungkin mendapatkan matahari yang bersinar terang.
          Orang terakhir dalam putaran kedua botol kejujuran pun menutup pernyatan dengan manis. Kita tidak bisa berdiam dalam satu wadah, kita yang pernah merasa hidup dengan tidak baik dan akhirnya menemukan tempat yang nyaman pun pada akhirnya harus pindah. Itu adalah harga yang tepat untuk membayar waktu yang akan datang, untuk orang lain yang akan Berjaya dimasanya. Karena pada akhirnya kita membutuhkan ruang bernafas untuk diri kita sendiri.