Badanku menggigil, aku mulai gelisah
memandangi kelima temanku yang duduk membentuk bundaran. Aku duduk cemas sambil berdo’a komat-kamit berharap ujung botol itu tidak mengarah
kepadaku saat ini. tiap level kecemasan selalu bertambah saat salah seorang
dari kami menutup pernyataan terakhirnya. Mati!!! Giliranku!
“Siapa orang yang kamu benci dirumah
ini?” tanya A.
“Siapa orang yang membuatmu malas
datang ke rumah ini?” tanya B.
“Apakah kamu benar-benar menyukai
Logus dengan sebenar-benarnya? Dia kan jelek! Kamu serius? Apa alasanmu? Tanya E.
“Untuk kedepan siapakah diantara dua
orang yang akan kamu pilih? Lelaki yang kaya atau lelaki yang punya cinta?”
tanya C.
“bukankah dalam perjalanan selama
beberapa ratus hari ini kamu dipasangkan dengan seseorang? Bukan hanya mas F
saja. Apakah kamu sering dan masih berhubungan dengannya?” tanya D.
Sedangkan G hanya duduk termenung
bermain gitar di belakang kami sambil sesekali mengiringi lagu yang cocok
untuk suara hati kami yang meluap-luap bak sungai kebanjiran.
“Jujur
saja” adalah kalimat yang dikatakan diawal pernyataan. Mungkin sebagai ajimat
untuk mengantarkan lidah mengatakan kebenaran. Kemudian kecemasan itu
berangsur-angsur menghilang saat semua pertanyaan telah selesai terjawab. Selama
pertanyaan itu tidak sepribadi seperti curhatanku dengan Tuhan, tapi aku
menikmatinya, menikmati bagaimana seseorang mencoba berkata jujur mengenai apa
yang ada diantara pikiran dan perasaannya.
Sebotol
bir coklat tua yang telah kosong berbentuk panjang dengan leher botol lebih panjang
dan memiliki proporsi seimbang untuk kami putar telah
terbaring di lantai dan siap untuk kami putar kembali. Percepatan botol itu
berkurang setelah ia lelah berputar dan menuju seseorang pada moncong
tutupnya, seorang mangsa yang siap kami korek kehidupan pribadinya.
Banyak
rahasia pribadi orang lain yang ingin aku ketahui, terutama yang menyangkut
tentang keberadaanku dalam kehidupan mereka. Selebihnya permainan kata-kata
agar sebuah pernyataan berlanjut pada pernyataan, bukan kebohongan. Aku rasa
mereka cukup jujur untuk menjawab tiap pertanyaan yang datang.
Seperti
halnya Kuda, sapaan kebun binatang untuk orang yang pada awalnya pernah spesial.
Ternyata aku memang tidak benar-benar ada dalam kehidupannya, dia tidak pernah menganggapku
sedemikian. Terganggu akan kehadiran dan omonganku saja tidak. Oke, aku terlalu
membuang waktu dengan menebar jala. Aku rasa yang kubutuhkan kedepan hanya
fokus, just focus,,, just it..... Saat giliranku bertanya untuk mendapatkan
penegasan pengakuan darinya, dia tetap saja menganggapku tidak benar-benar ada
dalam lingkaran matanya. Alasannya sederhana, bertahan dengan seseorang saja,
bertahan dengan orang yang sama sejak 8 tahun yang lalu, karena aku yang terlalu
banyak melihat lelaki lain disampingku, menganggapku biasa dan pada garis
besarnya “aku benar-benar tidak ada”. Saat ini dan kedepannya aku hanya perlu
menekankan bahwa aku benar-benar tidak ada dalam kehidupannya.
Namun
ada satu hal penting yang aku sadari, ternyata orang yang benar-benar aku minta
pada tuhan di akhir Shalatku ada dalam satu ruangan disini. Aku tak pernah
menyebut namanya disetiap obrolan, tak pernah membayangkan wajah dan keadaannya,
hanya benar-benar memperhatikannya saat dia bisa dijangkau dengan mataku. Tapi aku
tau, orang seburuk aku tidak mungkin mendapatkan matahari yang bersinar terang.
Orang
terakhir dalam putaran kedua botol kejujuran pun menutup pernyatan dengan
manis. Kita tidak bisa berdiam dalam satu wadah, kita yang pernah merasa hidup
dengan tidak baik dan akhirnya menemukan tempat yang nyaman pun pada akhirnya
harus pindah. Itu adalah harga yang tepat untuk membayar waktu yang akan
datang, untuk orang lain yang akan Berjaya dimasanya. Karena pada akhirnya kita
membutuhkan ruang bernafas untuk diri kita sendiri.