post Istimewa

Selasa, 12 Juni 2012

KaSih Jangan Pergi



       Masih sore hari untuk cepat-cepat minggat dari rumah ini. Aku sudah tidak tahan dengan kemauan bapak yang selalu menyuruhku untuk pergi dengan Ramlan, anak kepala desa yang kaya itu. Ya, bapak mempunyai banyak hutang yang tidak mampu dibayarnya. Bapak mencoba meminta bantuan kepala desa dan kepala desa itu memberinya. Lama-lama hutang bapak semakin banyak, bukan mencoba melunasinya tapi mulai hutang kanan-kiri untuk menambal hutangnya pada orang-orang yang selalu menagihnya. Dan kembali lagi meminta bantuan pak kades. Jadi hutang bapak pada pak kades seperti orang kaya yang menabung di bank, semakin banyak dan semakin banyak.
Entahlah apa yang ada dipikiran bapak, hingga iya tega menjodohkan aku dengan anak pak kades yang sudah berkepala 3. Baru tiga dan sudah menikah. Aku tak suka pria dengan latar belakang seperti itu sekalipun dia kaya. Apa semurah itu aku akan melelang harga diri ini dengan uang. Bapak memang sudah keterlaluan. Pokoknya malam ini aku harus keluar dari rumah. Aku akan pergi sangat jauh dan tak akan kembali lagi. Tepat tengah malam ketika bapak tertidur pulas nanti. Aria kekasihku akan membantuku untuk kabur, dan dia yang akan mengantarkanku ke Bali. Pulau yang penuh dengan kebebasan seperti surga. Pulau itu,,ya pulau itu yang akan menjadi tempatku berteduh sampai aku mampu berjalan tegak diatas kepala warga kampung. Haha….Kasih melamunkan rencananya untuk kabur dari rumahnya dengan antusias sekali.
Sementara Ramlan, pria yang baru berumur 30 tahun itu sedang ada rapat dengan colleganya di kota. Iya berpenampilan layaknya pria dewasa lainnya, istrinya diceraikannya karena selingkuh dengan pria lain yang merupakan pesaing bisnisnya. Anaknya, alfia berusia 6 tahun dan tidak bisa bicara. Istrinya pun tak berniat utuk membawa alfia bersamanya ketika ia putuskan keluar dari rumah pak Kades. Ramlan berbisnis property dan sering ke luar kota untuk mencari link yang akan membantu bisnisnya. Alfia di asuh baby sitter-nya dan neneknya. Perbincangan kali ini lebih lama dari biasanya. Mungkin masih akan berakhir nanti ketika café itu akan tutup. Tapi demi Alfia, semuanya hanya untuk ini aku perjuangkan. Alfia,,,
“Kasih,,,kasih,,, aku sudah ada di sini. Cepatlah kau buka jendela kamarmu sayang,,,”, terdengar suara aria berbisik perlahan di luar jendela kamar kasih.
Kasih yang lama menunggu kedatangan aria pun bergegas bangkit dari ranjangnya dan berjalan perlahan menuju jendela kamarnya. Lalu iya buka tuas pengunci dan membukanya perlahan. Aria sudah menunggunya disana. Jendela setinggi setengah meter itu sangat mudah dilewati. Dua tas besar dikeluarkannya terlebih dahulu, lalu kasih keluar dan menutup daun jendelanya perlahan dari luar.
“ayo cepatlah, sebelum ayahku terbangun malam ini”, bisik kasih pada kekasihnya dengan nada cemas.
“iya, tasmu ini kau isi apa sayang?, Kenapa berat sekali?, sebenarnya kau berniat kabur atau pindahan sih?.” Aria menanggapi dengan perasaan tidak senang dengan beban-beban yang di angkatnya ke atas sepeda motor.
“supaya kamu gak perlu beliin aku baju disana nanti, tau sendrikan kalau di Bali itu harga barang-barang sangat mahal. Kita ini memang sedang pindahan kedunia yang akan kita bangun nanti.” Tukar kasih dengan nada kesal.
“iya,, iya,, ini semua juga demi aku. Naiklah dan pakai helm ini sayang. Kita akan pergi ke Bali malam ini juga, tapi kita akan balik kerumah temanku di daerah Grati untuk mengambil barang-barang yang kutitipkan padanya”. Balasnya memberi tahu Kasih.
“memangnya sebanyak apa barang yang hendak kau bawa sayang?, dua, tiga tas atau berapa?.” tanya Kasih penasaran. Sementara mereka sudah mulai mengendarai sepeda motornya.
“hanya sebuah tas”. Tukas Aria.
“hmm,,, Syukurlah”. Tawanya beradu udara dingin di pagi buta itu.
            Satu jam perjalanan dari Purwosari ke Grati dimalam dingin memang sepi. Beruntungnya daerah itu tidak sedingin Malang di malam hari. Perjalanan ke rumah teman Aria didaerah Lekok masih dilalui dengan semangat. Bahwa esok pagi mereka akan tiba di Bali. Bila mereka dapat berjalan dengan lebih cepat dari ini dengan mengendarai sepeda motor. Mereka akan menjumpai sun rise di pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.
Rumah teman Aria, Munir ada di pinggir jalan besar Grati. Jalan pantura yang selalu ramai dengan kendaraan besar pengangkut barang. Rumahnya lumayan bagus, disamping kanannya ada café yang masih buka. Ketika mereka sampai dan kasih menunggu di depan rumah, sedang aria membangunkan tuan rumah yang sudah dikabarinya akan datang tengah malam. Agar mereka tidak terkejut didatangi orang tengah malam. Kasih berdiri di samping sepeda motor dan melihat kondisi tempat itu malam hari. Café itu akan tutup dan rombongan terakhir yang keluar adalah pria berpostur tegap. Mereka ada 5 orang dan asyik mengucapkan kata-kata perpisahan. Agak menakutkan melihat pengunjung sebuah café di tengah malam seperti itu. Seorang diantaranya membuka pintu mobil, masuk dan mulai menyalakan mesin mobilnya. Sinar lampunya sangat menyakiti mata, apa lagi ini tengah malam. Malam yang baik untuk tidak melihat sinar seterang itu. Tetapi mobil itu tidak cepat berlalu, malah mematikan mobilnya dan keluar lagi dari dalam mobil dan berjalan. Dia berjalan kearahku, kasih panik.
Sementara Aria ternyata mampir ke toilet tuan rumah. Sehingga kasih harus menunggu lebih lama di luar pagar. Orang yang berjalan dari mobil itu melambaikan tangan. Kasih semakin takut.
“kasih,,, ini kasih ya?”. Tanya orang itu dalam penerangan tanpa sinar lampu.
“siapa, siapa disitu?, apa saya mengenalmu?” Tanya kasih sedikit gugup.
“kalau kamu kasih, mungkin kamu kenal saya?’’ balas suara itu, dia berjalan terus dan berhenti tepat dibawah lampu jalan.
“astaga, mas Ramlan. Apakah itu benar mas ramlan?” kasih menanggapi.
“iya, aku ramlan”. Jawabnya.
“untuk apa mas disini. Ini kan sudah tengah malam. Lagi pula bukan hal yang baik untuk bertemu seseorang hingga selarut ini.” Jawab kasih tegas.
“harusnya aku yang bertanya seperti itu!, kamu kenapa bisa ada diluar rumah jam segini? Apa kamu sudah pamit ayahmu? Dan ini juga bukan udara yang sehat untuk dihirup.”
            Ramlan mendekati kasih dan mengulurkan tangannya, sementara menanggapinya dengan kikuk. Kasih diam-diam menjabat uluran tangan itu dengan mantap. Sembari menarik nafas, akhirnya dia mulai bicara dengan ramlan dengan tegas.
“maaf mas, kasih tidak suka dijodohkan seperti ini. Apalagi karena membayar hutang. Kasih masih ingin lebih lama hidup sendiri. Sebenarnya uang itu bisa aku ganti bila aku diberi kesempatan beberapa tahun saja. Aku akan bekerja dibali dan membayar hutang itu dengan gaji yang akan kuterima. Jadi mas, jangan pernah berharap kalau kita bisa bersanding sekalipun mas tampan atau kaya sekalipun”. Kasih memulai pembicaraan  seriusnya pada ramlan.
“tapi kas, aku pun juga tidak pernah berharap kalau kamu mau menikah denganku dengan cara seperti itu. Apa tidak bisa kamu pertimbangkan lagi?”. Jawab ramlan berharap.
“landasan keluarga kita saja salah, tentu akan salah bila kita tetap teruskan untuk bersama mas!”.
“kasih,,,,,”nada ramlan merajuk.
“apa? Apa mas juga tidak puas dengan keputusan saya? Sudah saya pikirkan hal ini baik-baik. Malam ini Aria kekasihku akan bersamaku kesuatu tempat dimana kami akan memulai kehidupan. Bekerja dan berkeluarga dan tidak akan kembali ke tempat ini lagi. Jadi, ini pertemuan terakhir kita mas. Pokoknya mas harus terima kalau aku tidak bisa bersanding dengan mas. Masih banyak wania lain yang lebih baik dari kasih. Apa perlu kasih carikan supaya mas tidak berharap lagi kasih dapat menjadi milik mas? Apa mas kurang puas menyiksa batin kasih dengan alasan yang tidak masuk akal ini. Ayolah mas,,, pertimbangkan. Kasih ini masih ingin berusaha menjadi lebih baik mas?” tampik kasih dengan alasannya pada ramlan.
“apa kamu tidak kasihan  pada Alfia. Dia masih kecil dan membutuhkan sosok seorang ibu. Kamu tidak menginkan dia hidup lebih sulit karena kekurangannya kan Kasih?” rayu ramlan.
“Alfia…” Alfia memang alasan yang pas untuk mengalihkan permasalahan ini. Alfia balita yang lucu walaupun dia tidak bisa bicara. Alfia,,, ma’afkanlah tante. Bisikknya menguatkan hatinya sendiri.
“kasih, aku mohon sekali padamu. Demi alfia, aku tidak akan menguntungkan posisiku sendiri kasih. Aku tau kalau dulu pernah meninggalkanmu karena mantan istriku. Aku tau aku salah. Aku banting tulang setiap hari, harus pergi kesana-kemari. Aku bekerja keras walau aku hanya punya alfia. Karena alfia aku harus hidup dan membesarkannya. Kau tau sendri kan kasih kalau alfia memiliki kekurangan, dia tidak akan mau berusaha tanpa dukungan orang-orang yang ia sayangi. Mohon kasih, pertimbangkanlah,,, pertimbangkanlah demi Alfia, bukan aku.” Ramlan memohonkan permintaannya pada kasih dengan mata berkaca-kaca. Ini demi putri semata wayangku, Alfia. Gadis kecil yang menjadi tujuanku untuk terus menjadi ayah yang baik baginya. Hanya alfia tujuanku…
__________________________________________ at part 0ne >,<’’ June 9, 2012