Masih
sore hari untuk cepat-cepat minggat
dari rumah ini. Aku sudah tidak tahan dengan kemauan bapak yang selalu
menyuruhku untuk pergi dengan Ramlan, anak kepala desa yang kaya itu. Ya, bapak
mempunyai banyak hutang yang tidak mampu dibayarnya. Bapak mencoba meminta
bantuan kepala desa dan kepala desa itu memberinya. Lama-lama hutang bapak
semakin banyak, bukan mencoba melunasinya tapi mulai hutang kanan-kiri untuk
menambal hutangnya pada orang-orang yang selalu menagihnya. Dan kembali lagi
meminta bantuan pak kades. Jadi hutang bapak pada pak kades seperti orang kaya
yang menabung di bank, semakin banyak dan semakin banyak.
Entahlah
apa yang ada dipikiran bapak, hingga iya tega menjodohkan aku dengan anak pak
kades yang sudah berkepala 3. Baru tiga dan sudah menikah. Aku tak suka pria
dengan latar belakang seperti itu sekalipun dia kaya. Apa semurah itu aku akan
melelang harga diri ini dengan uang. Bapak memang sudah keterlaluan. Pokoknya
malam ini aku harus keluar dari rumah. Aku akan pergi sangat jauh dan tak akan
kembali lagi. Tepat tengah malam ketika bapak tertidur pulas nanti. Aria
kekasihku akan membantuku untuk kabur, dan dia yang akan mengantarkanku ke
Bali. Pulau yang penuh dengan kebebasan seperti surga. Pulau itu,,ya pulau itu
yang akan menjadi tempatku berteduh sampai aku mampu berjalan tegak diatas
kepala warga kampung. Haha….Kasih melamunkan rencananya untuk kabur dari
rumahnya dengan antusias sekali.
Sementara
Ramlan, pria yang baru berumur 30 tahun itu sedang ada rapat dengan colleganya
di kota. Iya berpenampilan layaknya pria dewasa lainnya, istrinya diceraikannya
karena selingkuh dengan pria lain yang merupakan pesaing bisnisnya. Anaknya,
alfia berusia 6 tahun dan tidak bisa bicara. Istrinya pun tak berniat utuk
membawa alfia bersamanya ketika ia putuskan keluar dari rumah pak Kades. Ramlan
berbisnis property dan sering ke luar kota untuk mencari link yang akan
membantu bisnisnya. Alfia di asuh baby
sitter-nya dan neneknya. Perbincangan kali ini lebih lama dari biasanya.
Mungkin masih akan berakhir nanti ketika café itu akan tutup. Tapi demi Alfia,
semuanya hanya untuk ini aku perjuangkan. Alfia,,,
“Kasih,,,kasih,,, aku sudah ada
di sini. Cepatlah kau buka jendela kamarmu sayang,,,”, terdengar suara aria
berbisik perlahan di luar jendela kamar kasih.
Kasih
yang lama menunggu kedatangan aria pun bergegas bangkit dari ranjangnya dan
berjalan perlahan menuju jendela kamarnya. Lalu iya buka tuas pengunci dan
membukanya perlahan. Aria sudah menunggunya disana. Jendela setinggi setengah
meter itu sangat mudah dilewati. Dua tas besar dikeluarkannya terlebih dahulu,
lalu kasih keluar dan menutup daun jendelanya perlahan dari luar.
“ayo cepatlah, sebelum ayahku
terbangun malam ini”, bisik kasih pada kekasihnya dengan nada cemas.
“iya, tasmu ini kau isi apa
sayang?, Kenapa berat sekali?, sebenarnya kau berniat kabur atau pindahan
sih?.” Aria menanggapi dengan perasaan tidak senang dengan beban-beban yang di
angkatnya ke atas sepeda motor.
“supaya kamu gak perlu beliin
aku baju disana nanti, tau sendrikan kalau di Bali itu harga barang-barang
sangat mahal. Kita ini memang sedang pindahan kedunia yang akan kita bangun
nanti.” Tukar kasih dengan nada kesal.
“iya,, iya,, ini semua juga
demi aku. Naiklah dan pakai helm ini sayang. Kita akan pergi ke Bali malam ini
juga, tapi kita akan balik kerumah temanku di daerah Grati untuk mengambil
barang-barang yang kutitipkan padanya”. Balasnya memberi tahu Kasih.
“memangnya sebanyak apa barang
yang hendak kau bawa sayang?, dua, tiga tas atau berapa?.” tanya Kasih
penasaran. Sementara mereka sudah mulai mengendarai sepeda motornya.
“hanya sebuah tas”. Tukas Aria.
“hmm,,, Syukurlah”. Tawanya
beradu udara dingin di pagi buta itu.
Satu jam perjalanan dari Purwosari ke Grati dimalam dingin
memang sepi. Beruntungnya daerah itu tidak sedingin Malang di malam hari. Perjalanan
ke rumah teman Aria didaerah Lekok masih dilalui dengan semangat. Bahwa esok
pagi mereka akan tiba di Bali. Bila mereka dapat berjalan dengan lebih cepat
dari ini dengan mengendarai sepeda motor. Mereka akan menjumpai sun rise di pelabuhan Ketapang,
Banyuwangi.
Rumah
teman Aria, Munir ada di pinggir jalan besar Grati. Jalan pantura yang selalu
ramai dengan kendaraan besar pengangkut barang. Rumahnya lumayan bagus, disamping
kanannya ada café yang masih buka. Ketika mereka sampai dan kasih menunggu di
depan rumah, sedang aria membangunkan tuan rumah yang sudah dikabarinya akan
datang tengah malam. Agar mereka tidak terkejut didatangi orang tengah malam.
Kasih berdiri di samping sepeda motor dan melihat kondisi tempat itu malam
hari. Café itu akan tutup dan rombongan terakhir yang keluar adalah pria
berpostur tegap. Mereka ada 5 orang dan asyik mengucapkan kata-kata perpisahan.
Agak menakutkan melihat pengunjung sebuah café di tengah malam seperti itu.
Seorang diantaranya membuka pintu mobil, masuk dan mulai menyalakan mesin
mobilnya. Sinar lampunya sangat menyakiti mata, apa lagi ini tengah malam.
Malam yang baik untuk tidak melihat sinar seterang itu. Tetapi mobil itu tidak
cepat berlalu, malah mematikan mobilnya dan keluar lagi dari dalam mobil dan
berjalan. Dia berjalan kearahku, kasih panik.
Sementara
Aria ternyata mampir ke toilet tuan rumah. Sehingga kasih harus menunggu lebih
lama di luar pagar. Orang yang berjalan dari mobil itu melambaikan tangan.
Kasih semakin takut.
“kasih,,, ini kasih ya?”. Tanya
orang itu dalam penerangan tanpa sinar lampu.
“siapa, siapa disitu?, apa saya
mengenalmu?” Tanya kasih sedikit gugup.
“kalau kamu kasih, mungkin kamu
kenal saya?’’ balas suara itu, dia berjalan terus dan berhenti tepat dibawah
lampu jalan.
“astaga, mas Ramlan. Apakah itu
benar mas ramlan?” kasih menanggapi.
“iya, aku ramlan”. Jawabnya.
“untuk apa mas disini. Ini kan
sudah tengah malam. Lagi pula bukan hal yang baik untuk bertemu seseorang
hingga selarut ini.” Jawab kasih tegas.
“harusnya aku yang bertanya
seperti itu!, kamu kenapa bisa ada diluar rumah jam segini? Apa kamu sudah
pamit ayahmu? Dan ini juga bukan udara yang sehat untuk dihirup.”
Ramlan mendekati kasih dan mengulurkan tangannya,
sementara menanggapinya dengan kikuk. Kasih diam-diam menjabat uluran tangan
itu dengan mantap. Sembari menarik nafas, akhirnya dia mulai bicara dengan
ramlan dengan tegas.
“maaf mas, kasih tidak suka
dijodohkan seperti ini. Apalagi karena membayar hutang. Kasih masih ingin lebih
lama hidup sendiri. Sebenarnya uang itu bisa aku ganti bila aku diberi
kesempatan beberapa tahun saja. Aku akan bekerja dibali dan membayar hutang itu
dengan gaji yang akan kuterima. Jadi mas, jangan pernah berharap kalau kita
bisa bersanding sekalipun mas tampan atau kaya sekalipun”. Kasih memulai
pembicaraan seriusnya pada ramlan.
“tapi kas, aku pun juga tidak
pernah berharap kalau kamu mau menikah denganku dengan cara seperti itu. Apa
tidak bisa kamu pertimbangkan lagi?”. Jawab ramlan berharap.
“landasan keluarga kita saja
salah, tentu akan salah bila kita tetap teruskan untuk bersama mas!”.
“kasih,,,,,”nada ramlan
merajuk.
“apa? Apa mas juga tidak puas
dengan keputusan saya? Sudah saya pikirkan hal ini baik-baik. Malam ini Aria
kekasihku akan bersamaku kesuatu tempat dimana kami akan memulai kehidupan.
Bekerja dan berkeluarga dan tidak akan kembali ke tempat ini lagi. Jadi, ini
pertemuan terakhir kita mas. Pokoknya mas harus terima kalau aku tidak bisa
bersanding dengan mas. Masih banyak wania lain yang lebih baik dari kasih. Apa
perlu kasih carikan supaya mas tidak berharap lagi kasih dapat menjadi milik
mas? Apa mas kurang puas menyiksa batin kasih dengan alasan yang tidak masuk
akal ini. Ayolah mas,,, pertimbangkan. Kasih ini masih ingin berusaha menjadi
lebih baik mas?” tampik kasih dengan alasannya pada ramlan.
“apa kamu tidak kasihan pada Alfia. Dia masih kecil dan membutuhkan
sosok seorang ibu. Kamu tidak menginkan dia hidup lebih sulit karena
kekurangannya kan Kasih?” rayu ramlan.
“Alfia…” Alfia memang alasan
yang pas untuk mengalihkan permasalahan ini. Alfia balita yang lucu walaupun
dia tidak bisa bicara. Alfia,,, ma’afkanlah tante. Bisikknya menguatkan hatinya
sendiri.
“kasih, aku mohon sekali
padamu. Demi alfia, aku tidak akan menguntungkan posisiku sendiri kasih. Aku
tau kalau dulu pernah meninggalkanmu karena mantan istriku. Aku tau aku salah.
Aku banting tulang setiap hari, harus pergi kesana-kemari. Aku bekerja keras
walau aku hanya punya alfia. Karena alfia aku harus hidup dan membesarkannya.
Kau tau sendri kan kasih kalau alfia memiliki kekurangan, dia tidak akan mau
berusaha tanpa dukungan orang-orang yang ia sayangi. Mohon kasih,
pertimbangkanlah,,, pertimbangkanlah demi Alfia, bukan aku.” Ramlan memohonkan
permintaannya pada kasih dengan mata berkaca-kaca. Ini demi putri semata
wayangku, Alfia. Gadis kecil yang menjadi tujuanku untuk terus menjadi ayah
yang baik baginya. Hanya alfia tujuanku…
__________________________________________
at part 0ne >,<’’ June 9, 2012