Sudah menjadi keputusan saya ketika
memilih malang sebagai tempat untuk menuntut perguruan tinggi. Batin saya
bilang untuk mengikuti sunah rosul, belajar dan menjari ilmu. Sudah jadi
keputusan saya juga ketika saya haru
s keluar rumah dan pergi sejauh mungkin untuk belajar, meskipun ternyata tuhan memberikan Malang sebagai jawabannya. Sejauh 189 kilometer itulah langkah yang saya awali untuk mencari pengetahuan. Malang – Jember hanyalah bentangan dua kota dengan jarak 189 kilometer. Hanya itu saja sekat untuk lebih sering berrtemu keluarga saya. Yah, sekat dengan tebal 189 kilometer. Apa itu terasa jauh?
s keluar rumah dan pergi sejauh mungkin untuk belajar, meskipun ternyata tuhan memberikan Malang sebagai jawabannya. Sejauh 189 kilometer itulah langkah yang saya awali untuk mencari pengetahuan. Malang – Jember hanyalah bentangan dua kota dengan jarak 189 kilometer. Hanya itu saja sekat untuk lebih sering berrtemu keluarga saya. Yah, sekat dengan tebal 189 kilometer. Apa itu terasa jauh?
Lalu setelah hampir setahun ini
menjalaninya, baru saya sadar bila sekat 189 kilometer itu mampu saja lewati
dengan Rp 35.000,- sekali jalan. Bila saya gunakan untuk pulang pergi, maka dua
kali jumlah itu. Awalnya ketika menjadi Maba (Mahasiswa Baru) itu hal yang
mudah, sepele sekali hingga hal ini pun jarang terlintas dikepala. Yang ada
hanya bayangan rumah disana dan kos disini. Bukan hal yang rumit dan sangat
mudah sekali memutuskan untuk pulang dan berangkat. Lalu hari ini, saya dapati
bahwa dompet saya sudah tidak setebal dahulu.
Kenapa untuk sebuah universitas
negeri, saya rela naik bus kurang lebih 6 jam perjalanan? Bukankah di kota saya
sendiri ada universitas negeri. Tidak perlu naik bus sampai setengah hari,
hanya naik sepeda motor dengan kecepatan 80 km/jam saja sudah bisa
pulang-pergi. Kata ibu juga, kalau mau kuliah di universitas negeri di Jember
boleh bawa sepeda motor sendiri. Bisa pulang-pergi kapan aja. Mau pulang
kerumah kapan aja silahkan. Bahkan kalau perlu tak usah nge-kost, pulang-pergi
saja. Rp 5.000 saja sudah sekali jalan. Tidak ada kata kangen rumah, kelaperan
sampai lupa jalan menuju rumah.
Lalu, saya mencoba berfikir ulang, mengingat
apa yang telah menjadi pilihan saya. Apa yang sudah menarik hati saya untuk
memilih Malang?. Lalu saya dapati ketika naik kelas 3 SMA. Saya rasa tinggal
terlalu lama dengan keluarga membuat saya menjadi anak yang penakut, menjadi
anak yang tidak bisa menghargai waktu, mengandalkan orang lain disaat saya
sudah tak mau mengerjakan suatu hal. Mungkin itu beberapa alasan saya menjauhi
rumah. Disana ada keluarga yang hangat, keluarga kecil yang dulu terpukul
karena kakak laki-laki saya meninggal ketika SMP. Saat itu pula aku baru kelas
4 SD. Adikku pun masih kelas 1 SD. Itu kali kedua ibuku kehilangan putranya.
Sejak saat itu pula ibu selalu keras pada kami. Mungkin karena beliau terlalu
menyayangi kami. Beliau selalu menyuruh kami mengerjakan segala sesuatunya
mandiri, dan paling perhatian saat kami mengalami kesulitan.
Saya pun pernah jatuh sakit tyfus
akut ketka itu, setiap hari seorang dokter desa datang ke rumah memberikan satu
suntikan. Dan beberapa suntukan untuk beberapa hari kedepannya. Beliau sering
bertanya
“nyuwun opo ndug? Ndang waras ben gak loro
terus. Ndang jaluk opo?” (minta apa nak? Cepat sembuh supaya nggak sakit
terus. Ayo, kamu mau minta apa?)
Seminggu penuh
suntikan, dan itu termasuk suntikan terakhir saya sampai hari ini. Beliau sangat
perhatian yang aku ingat, termasuk keras pula. Untuk beberapa alasan beliau
adalah lawan ayah saat memutuskan banyak hal dalam hidupku.
Jauh dari ibu artinya tidak aka nada
sarapan pagi dimeja. Tidak apa-apa. Aku masih bisa beli di warung. Lalu Malang?
Malang menawarakan udara sejuknya. Udara sejuk akan menjauhkan dari panas.
Menjauhkan keringat jadi urine. Mungkin kulit saya yang hitam ini bisa berubah
jadi putih. Alasan yang logis. Tidak ada keluarga disini, hidup saya mugkin
akan terasa bebas. Tidak ada adik yang selalu mengganggu saya belajar. Tidak
ada adik saya yang mengajak bertengkar hingga main tangan. Akan lebih banyak
teman. Yah, hidup saya akan lebih damai bila saya tinggal di Malang.
Sampai saya putuskan untuk mengikuti
ormawa (organisasi mahasiswa)
tingakat Universitas ketika akhir semester satu. Ormawa akan membuat saya lebih
sibuk, menyibukkan diri adalah alasan yang logis. Melupakan yang namanya
Pacaran, Narkotika dan Keluarga. Saya akan mempunyai keluarga baru yang akan
menaruh perhatian pada saya di kota yang sejuk ini. Keluarga saya disini dari
banyak kota kabupaten di Jawa Timur. Saya bisa mengasah kemampuan saya dan
mempunyai banyak teman dari universitas lain. Atau mungkin malah mendapatkan pacar di Ormawa.
Ormawa yang membuat saya betah untuk
tetap tinggal. Jarak pun akan tetap menjadi jarak. Malang-Jember dengan Sekat
189 kilometer membentang antara rumah saya dan kampus saya. Lalu bayangan itu
muncul lagi menyadarkan saya yang dilema akan jarak. Ternyata, saya masih
beruntung bisa kuliah di universitas negeri di kota yang sejuk ini selama 4
tahun tanpa harus membayar segala tarif akademiknya. Beasiswa.. saya
mendapatkannya, artinya saya akan lebih rajin belajar untuk mengabdi pada
Negara ini. Saya harus berubah, distance bukan
halangan untuk tetap bersedih. Saya punya kesempatan merubah nasib, saya punya
kesempatan untuk belajar, dan masih ada banyak kesempatan sebelum saya mengenal
dan terikat dengan anda. Terakhir, yang saya ingat untuk diperjuangkan adalah
saya ada di kota ini untuk Belajar. Terima kasih Allah untuk kesempatan
berharga ini.