post Istimewa

Sabtu, 15 Agustus 2015

Antara


     Senja di tepi pantai Watu Ulo tahun kedelapan bulan delapan dan genap delapan hari sesudah matahari tenggelam saat kita berpegangan tangan. Angin bertiup sepoi-sepoi membawa butiran air menampari wajah kita yang mulai hanyut dalam keindahan sinarnya. Lautan perlahan menciptakan butiran air yang sangat halus dan mengangkatnya ke udara membentuk gerombolan putih dan berjalan berarak menjadi awan. Epos dan buih ombak masih setia ditinggalkan gelombang memecah karang. Pantai berpasir hitam yang kian lama tersamarkan kegelapan malam.
     Aku berjalan menyusuri tepi pantai, menggandeng tangannya lekat-lekat. Aroma Bulgari menenangkan pikiranku seakan membuatku ingin bersandar dipundaknya lebih lama. Petang yang mulai datang memaksaku berjalan setengah berlari menerjang kegelapan. Ini mungkin kali terakhirku berjalan bersamanya sebelum kita memutuskan untuk berjalan pada rel yang berbeda.
     Ada getar yang terasa ketika orang-orang disekelilingku mengucapkan salam dengan nada yang manis. Semanis aroma kopi pagi buatannya yang khas dengan tambahan caramel. Karmel… Bunda Karmel adalah tempat ibadahku dan dia yang terakhir. Aku beberapa kali mengunjungi Bunda Karmel saat dia mengajakku ibadah di hari minggu pagi. Meski aku tidak diajari untuk berangkat pada dua tempat ibadah yang berbeda, aku yakin tuhanku tidak akan marah kalau aku sekedar berkunjung… bukan beribadah dengan dua iman yang berbeda.
     Samanta Arthapati, pria penuh kejutan di setiap hal dan menyayangiku sampai aku mati… terbukti suatu kali saat aku kecelakaan lalu lintas diakhir tahun lalu dan kerap saat aku tiba-tiba mengalami pobhia dan depresi. Dia lelaki yang eksotik, berbadan kekar dengan kulit sawo matang yang sepanjang ingatanku tak pernah merokok dan meneguk martini, chivas regal dan teman-temannya. Aku selalu berharap bahwa dia adalah Imam yang akan mengarahkan kehidupanku kelak meski Tuhan kami tidak sama pun do’a kami akan berakhir pada kata Amin yang sama.
     Mantha berbeda, ia membiarkanku sembahyang di masjid dan beberapa kali mengantarkanku saat kami masih sama-sama kuliah dulu. Keyakinan kami pun sama bahwa Tuhan Cuma satu yang terbagi dalam beberapa agama yang berbeda. Karena agama yang akan menerangkan pada kami bagaimana cara kami berlaku dengan baik di dunia ini. aku terbiasa hidup dengan susah, sedang mantha tak pernah kekurangan. Berbagi dari ini ke itu sampai begini dan begitu. Perjalanan kuliah dipenuhi kegembiraan dari bagaimana kami bertukar pikiran, barang, sampai khotbah-khotbah. Dan dari setiap khotbah dimanapun itu, agama apapun itu, selalu penuh dengan hal positif yang membangkitkan semangat kami untuk berpikir maju meniti masa depan.
     Sebaik dan sesempurnanya dia tetap merupakan kekurangan saat sebuah nilai utama kehidupan dinyatakan salah dimata kedua orangtuaku, pun kedua orang tuanya. Tidak ada kebenaran dalam hidupku bagi keluarga besarnya sedang ibuku pun bahkan tidak sempat berfikir bahwa ada Imam yang lain yang mungkin mencoba memasuki keluarga kami yang taat.
     Jikalau kau menghitung setiap detik yang kau punya didunia ini. bagaimana aku harus menghitung jumlah detik itu bila aku hidup dengannya lebih dari delapan tahun? Bahkan aku nyaris tidak akan lupa bagaimana cara dia bernyanyi, menari, kentut, makan, tidur, ngupil dan merayu. Bagaimana dia memutar ujung bolpen dan menunjukkan ekspresi cengo. Oh tuhan, bagaimana bisa delapan tahun itu diakhiri dalam satu hari? Itu cobaan yang sulit kulalui dalam masa-masa ini.
     Matahari tenggelam, seikat mawar merah dan sebuah sarung tangan jadi saksi saat kami berpisah. Tanpa kata-kata, hanya ekspresi kedukaan yang menggelanyuti wajah dan pikiran. Lusa kami akan berangkat ke bandara pada waktu yang sama dengan tujuan yang berbeda. Aku berlari mengejar matahari tenggelam dan dia mengejar matahari terbit. Lalu setelah itu, ini hanya sebuah kisah yang pernah ada didunia dan dilupakan orang. Cukup berakhir seperti ini saja.

Senin, 10 Agustus 2015

Sebotol Kejujuran

          Badanku menggigil, aku mulai gelisah memandangi kelima temanku yang duduk membentuk bundaran. Aku duduk cemas sambil berdo’a komat-kamit berharap ujung botol itu tidak mengarah kepadaku saat ini. tiap level kecemasan selalu bertambah saat salah seorang dari kami menutup pernyataan terakhirnya. Mati!!! Giliranku!

“Siapa orang yang kamu benci dirumah ini?” tanya A.
“Siapa orang yang membuatmu malas datang ke rumah ini?” tanya B.
“Apakah kamu benar-benar menyukai Logus dengan sebenar-benarnya? Dia kan jelek! Kamu serius? Apa alasanmu? Tanya E.
“Untuk kedepan siapakah diantara dua orang yang akan kamu pilih? Lelaki yang kaya atau lelaki yang punya cinta?” tanya C.
“bukankah dalam perjalanan selama beberapa ratus hari ini kamu dipasangkan dengan seseorang? Bukan hanya mas F saja. Apakah kamu sering dan masih berhubungan dengannya?” tanya D.

Sedangkan G hanya duduk termenung bermain gitar di belakang kami sambil sesekali mengiringi lagu yang cocok untuk suara hati kami yang meluap-luap bak sungai kebanjiran.
          “Jujur saja” adalah kalimat yang dikatakan diawal pernyataan. Mungkin sebagai ajimat untuk mengantarkan lidah mengatakan kebenaran. Kemudian kecemasan itu berangsur-angsur menghilang saat semua pertanyaan telah selesai terjawab. Selama pertanyaan itu tidak sepribadi seperti curhatanku dengan Tuhan, tapi aku menikmatinya, menikmati bagaimana seseorang mencoba berkata jujur mengenai apa yang ada diantara pikiran dan perasaannya.
          Sebotol bir coklat tua yang telah kosong berbentuk panjang dengan leher botol lebih panjang dan memiliki proporsi seimbang untuk kami putar telah terbaring di lantai dan siap untuk kami putar kembali. Percepatan botol itu berkurang setelah ia lelah berputar dan menuju seseorang pada moncong tutupnya, seorang mangsa yang siap kami korek kehidupan pribadinya.
          Banyak rahasia pribadi orang lain yang ingin aku ketahui, terutama yang menyangkut tentang keberadaanku dalam kehidupan mereka. Selebihnya permainan kata-kata agar sebuah pernyataan berlanjut pada pernyataan, bukan kebohongan. Aku rasa mereka cukup jujur untuk menjawab tiap pertanyaan yang datang.
          Seperti halnya Kuda, sapaan kebun binatang untuk orang yang pada awalnya pernah spesial. Ternyata aku memang tidak benar-benar ada dalam kehidupannya, dia tidak pernah menganggapku sedemikian. Terganggu akan kehadiran dan omonganku saja tidak. Oke, aku terlalu membuang waktu dengan menebar jala. Aku rasa yang kubutuhkan kedepan hanya fokus, just focus,,, just it..... Saat giliranku bertanya untuk mendapatkan penegasan pengakuan darinya, dia tetap saja menganggapku tidak benar-benar ada dalam lingkaran matanya. Alasannya sederhana, bertahan dengan seseorang saja, bertahan dengan orang yang sama sejak 8 tahun yang lalu, karena aku yang terlalu banyak melihat lelaki lain disampingku, menganggapku biasa dan pada garis besarnya “aku benar-benar tidak ada”. Saat ini dan kedepannya aku hanya perlu menekankan bahwa aku benar-benar tidak ada dalam kehidupannya.
          Namun ada satu hal penting yang aku sadari, ternyata orang yang benar-benar aku minta pada tuhan di akhir Shalatku ada dalam satu ruangan disini. Aku tak pernah menyebut namanya disetiap obrolan, tak pernah membayangkan wajah dan keadaannya, hanya benar-benar memperhatikannya saat dia bisa dijangkau dengan mataku. Tapi aku tau, orang seburuk aku tidak mungkin mendapatkan matahari yang bersinar terang.
          Orang terakhir dalam putaran kedua botol kejujuran pun menutup pernyatan dengan manis. Kita tidak bisa berdiam dalam satu wadah, kita yang pernah merasa hidup dengan tidak baik dan akhirnya menemukan tempat yang nyaman pun pada akhirnya harus pindah. Itu adalah harga yang tepat untuk membayar waktu yang akan datang, untuk orang lain yang akan Berjaya dimasanya. Karena pada akhirnya kita membutuhkan ruang bernafas untuk diri kita sendiri.

Kamis, 06 Agustus 2015

Aku Temaramku


Temaram bersibak warna-warna bias di udara
Jinggaku jinggamu menjadi biru yang mendayu
Bukankah kita akan melebur menjadi satu
Karena insan hakiki sudah tentu mati

Aku melihatmu sebagai sesosok ratu tanpa mahkota dan intan permata
Bibirmu, matamu, ingin kuracuni sampai kau mati karena hanyut rasaku padamu
Bukankah pecinta selalu merindu dalam syahdu sedang hanya do'a mereka yang bertemu?
Saat engkau mulai ragu, datanglah padaku dengan sekuntum mawar merah dan segenap rindu

Jarak bukanlah bias tak terukur
Itu nyata sayang!
Sedekat kau dan nadimu sendiri
Sekuat urat-urat yang terkurai dalam bisu

Aku lelah mencintaimu sebagai ratuku
Temaram datang lagi tanpa senja
ada seringai dalam duka bahwa cahaya bukan alasan aku mencarimu
Cahayamu mati
Mati terburai hati yang kini diam-diam perlahan padam


Aku
Senandungku
Rintihanku
Tawaku
Bukan lagi hak


Berlalu hilang tanpa ingatan
Kita terlelap

Sabtu, 01 Agustus 2015

Antara Sepasang Penari




          Malam minggu kemarin seseorang mengajakku keluar untuk minum kopi di sebuah kafe yang ramai dikunjungi seniman-seniman Malang. Kemarin sungguh berbeda, sudah lama sekali tak bernostalgia sambil menyeruput secangkir coklat panas. Pasalnya, aku larut dalam ingatanku sendiri. Dimalam minggu yang telah lalu, saat aku bertemu kau dan dia.
          Kau dan Dia, mereka… sepasang muda mudi yang terpaut konflik batin. Isa adalah gadis penari berperawakan kurus kecil dan cantik dengan rambut lurusnya yang tergerak menyentuh pinggul dan sedikit lebih tua dibanding Arya. Pemuda bertubuh gempal dan terlihat sedikit kekar, arya juga mampu menari selincah Isa dan terlihat lelaki sekali, meskipun saat ini ia lebih memilih untuk mengambil studi ilmu keolahragaan tapi bakat seninya tetap terasah.
          Repertoar 2014 lalu diselenggarakan dengan sangat menakjubkan dan benar-benar berbeda. Repertoar tari 2014 mengangkat lagenda Angling darma dan permaisurinya sebagai lakon utama. Audisi, E-commerce, P to P, semua iklan yang bertebaran di kampus mengantarkan Isa bertemu Arya. Ratusan calon yang mendaftarkan diri tersisihkan olah Isa dan Arya.
          Ketika pertama kali bertemu dan juri menyuruh mereka berdiri sejajar, ada cahaya menyilaukan dibalik punggung yang bersinar terang. Fatamorgananya menimbulkan bayangan sepasang Dewa dan Dewi kahyangan. Lelaki bertubuh kekar, berisi dan tinggi disandingkan perempuan bertubuh kurus gemulai dengan rambut lurus sepinggang. Sungguh kombinasi yang luar biasa sebagai pasangan aktor tari repertoar.
          Terpilihnya mereka berdua sebagai aktor utama mengharuskan mereka latihan dan latihan dalam banyak waktu selama berminggu-minggu. Isa menari kemayu dan Arya menari bak pangeran yang gagah berani. Saat mata bertemu mata, saat itulah ada rasa yang membuat mereka berdebar satu sama lain. Banyak sesi latihan yang diakhiri dengan makan berdua, jalan bersama keliling kota, memilih baju couple ke beberapa event santai, menonton film bersama, car free day, apapun itu mereka lakukan bersama. Seintensif jadwal pertemuan antara keduanya.
          Riuh tepuk tangan penonton bersorak-sorai saat lampu gedung dinyalakan, sesaat setelah semua aktor keluar panggung dan memberi salam. Tawa lepas aktor dari beban repertoar tari terbayar oleh tepuk tangan penonton, sesuatu yang selalu dicari-cari seorang aktor. Jatuhnya kain penutup panggung menutup hubungan Isa dan Arya untuk sementara waktu, hingga mereka menyadari sesuatu.
          Akhir-akhir ini Isa merasa sering terpancing atas sikap Arya yang suka menganti display picture-nya dengan cewek lain.
Isa : “mungkin aku cemburu menanggapi hal kecil seperti ini. aku harus bagaimana ros? Aku tak tahan. Dia selalu begitu dan begitu terus, masih labil. Apa mungkin karna aku 2 tahun lebih tua darinya?”.
Ros : “bisa jadi. Mungkin dia sudah lelah bersama cewek yang lebih tua, mungkin kamu seperti mamanya yang cerewet? Atau kamu yang meminta perhatian yang terlalu lebih?”.
Isa : “tidak, mungkin aku yang tidak bisa membedakan mana cinta lokasi dan mana cinta sejati. Aku menyerah”.
Ros : “lebih baik mundur saja, dari pada kau berjuang sendirian, dari pada kau membuang waktu terlalu banyak untuk sesuatu yang jelas-jelas tidak ingin denganmu. Mungkin, lebih baik meninggalkan dari pada kau menjadi labil dan pada akhirnya …. Kau tau sendirilah”.
          Sudah setengah tahun sejak terakhir kali bertemu Isa secara langsung. Selebihnya hanya dunia maya yang mempertemukanku dengan foto dan aktifitas barunya. Kami mengambil janji untuk bertemu di salah satu kedai kopi langgananku jam 9 malam setibanya aku di kota Isa.
          Pertemuan itu sederhana sekali, kami berdua duduk berhadapan dengan segelas coklat panas dan secangkir green tea dan beberapa batang rokok yang tinggal putungnya di asbak. Tak ada yang istimewa, mendengar nama “Arya” pun tidak. Sampai aku dengan berhati-hati mengangkat nama itu menjadi topik pembicaraan.
Aku : “masih ingat saat kamu lapar malam hari gara-gara siangnya kita makan sampai kenyang dan tertidur pulas. Bangun tengah malam dan seketika itu pula kita merasa lapar sekali. Masih ingat? Apalagi seseorang yang bersedia mengantarkan makanan di jam-jam bodoh itu. Cowok itu! Akh, siapa namanya aku lupa.. Ari….a? ya, Arya. Gimana kabarnya ya?”.
Isa : “aku masih memperjuangkannya mati-matian, teman-teman dekatku saja merasa bahwa aku seorang wirausahawan yang tangguh hanya karna aku berjuang sendirian. Aku masih belum bisa melepaskan bayangannya, aih,,, senyumnya manis sekali,,, sangatttt manis,,,”.
Aku : “Lalu?”.
Isa : “Wanita selalu butuh kepastian. Aku mengajaknya keluar untuk makan bersama di sebuah restoran padang. Saat kesempatan untuk memandang matanya kudapatkan. Aku keluarkan saja yang ada di hati dan pikiranku?”.
Aku : “dan dia bagaimana menanggapinya?”.
Isa : “tak berani menatap mataku, wallpapernya saja seorang wanita yang lebih sempurna dibanding aku. Saat itu juga aku sadar, Arya bukan lelaki yang patut diperjuangkan. Ia masih labil dan menang sendiri. Masih terlalu muda untuk terinkat dengan perempuan yang lebih tua darinya. Ya sudahlah …. Kulepaskan saja, toh aku yakin bahwa aku benar-benar pernah melekat dihatinya dan itu masih membekas. Mungkin mantraku akan lepas saat dia mengucapkan ijab qabul nanti”.
Aku : “ijab qabul? Gila, dengan yang mana lagi?”.
Isa : “mana aku tahu, yang penting aku sudah ikhlas. Aku tidak terbiasa menggantungkan diri, apalagi pada angin. Angin yang dirupakan sesosok manusia”.
Aku : “Kau gila!!! Dulu kau memujanya hingga lupa daratan, hingga telingaku bernanah mendengarnya. Sekarang bahkan kau terlihat jijik menyebut namanya? Sudah kuduga, hanya satu lelaki yang setia di dunia ini. Ayah.”
Isa : “bahkan semisal ayahku seorang pelaku KDRT, penjudi, main perempuan dan hal buruk lainnya. Apakah masih ada seorang lelaki yang setia kepadaku?”
Aku: “aku tak bisa menjawab, dan aku juga tidak mampu menulis lagi. Ini kenangan terakhir untukmu”.