Malam minggu kemarin
seseorang mengajakku keluar untuk minum kopi di sebuah kafe yang ramai
dikunjungi seniman-seniman Malang. Kemarin sungguh berbeda, sudah lama sekali tak
bernostalgia sambil menyeruput secangkir coklat panas. Pasalnya, aku larut
dalam ingatanku sendiri. Dimalam minggu yang telah lalu, saat aku bertemu kau
dan dia.
Kau dan Dia, mereka…
sepasang muda mudi yang terpaut konflik batin. Isa adalah gadis penari
berperawakan kurus kecil dan cantik dengan rambut lurusnya yang tergerak
menyentuh pinggul dan sedikit lebih tua dibanding Arya. Pemuda bertubuh gempal
dan terlihat sedikit kekar, arya juga mampu menari selincah Isa dan terlihat
lelaki sekali, meskipun saat ini ia lebih memilih untuk mengambil studi ilmu keolahragaan
tapi bakat seninya tetap terasah.
Repertoar 2014 lalu
diselenggarakan dengan sangat menakjubkan dan benar-benar berbeda. Repertoar
tari 2014 mengangkat lagenda Angling darma dan permaisurinya sebagai lakon
utama. Audisi, E-commerce, P to P, semua iklan yang bertebaran di kampus
mengantarkan Isa bertemu Arya. Ratusan calon yang mendaftarkan diri tersisihkan
olah Isa dan Arya.
Ketika pertama kali
bertemu dan juri menyuruh mereka berdiri sejajar, ada cahaya menyilaukan
dibalik punggung yang bersinar terang. Fatamorgananya menimbulkan bayangan
sepasang Dewa dan Dewi kahyangan. Lelaki bertubuh kekar, berisi dan tinggi
disandingkan perempuan bertubuh kurus gemulai dengan rambut lurus sepinggang.
Sungguh kombinasi yang luar biasa sebagai pasangan aktor tari repertoar.
Terpilihnya mereka berdua
sebagai aktor utama mengharuskan mereka latihan dan latihan dalam banyak waktu
selama berminggu-minggu. Isa menari kemayu
dan Arya menari bak pangeran yang gagah berani. Saat mata bertemu mata,
saat itulah ada rasa yang membuat mereka berdebar satu sama lain. Banyak sesi
latihan yang diakhiri dengan makan berdua, jalan bersama keliling kota, memilih
baju couple ke beberapa event santai, menonton film bersama, car free day, apapun itu mereka lakukan
bersama. Seintensif jadwal pertemuan antara keduanya.
Riuh tepuk tangan
penonton bersorak-sorai saat lampu gedung dinyalakan, sesaat setelah semua
aktor keluar panggung dan memberi salam. Tawa lepas aktor dari beban repertoar
tari terbayar oleh tepuk tangan penonton, sesuatu yang selalu dicari-cari
seorang aktor. Jatuhnya kain penutup panggung menutup hubungan Isa dan Arya
untuk sementara waktu, hingga mereka menyadari sesuatu.
Akhir-akhir ini Isa
merasa sering terpancing atas sikap Arya yang suka menganti display picture-nya dengan cewek lain.
Isa : “mungkin aku cemburu menanggapi hal kecil seperti ini. aku harus
bagaimana ros? Aku tak tahan. Dia selalu begitu dan begitu terus, masih labil.
Apa mungkin karna aku 2 tahun lebih tua darinya?”.
Ros : “bisa jadi. Mungkin dia sudah lelah bersama cewek yang lebih tua,
mungkin kamu seperti mamanya yang cerewet? Atau kamu yang meminta perhatian
yang terlalu lebih?”.
Isa : “tidak, mungkin aku yang tidak bisa membedakan mana cinta lokasi
dan mana cinta sejati. Aku menyerah”.
Ros : “lebih baik mundur saja, dari pada kau berjuang sendirian, dari
pada kau membuang waktu terlalu banyak untuk sesuatu yang jelas-jelas tidak
ingin denganmu. Mungkin, lebih baik meninggalkan dari pada kau menjadi labil
dan pada akhirnya …. Kau tau sendirilah”.
Sudah setengah tahun
sejak terakhir kali bertemu Isa secara langsung. Selebihnya hanya dunia maya
yang mempertemukanku dengan foto dan aktifitas barunya. Kami mengambil janji
untuk bertemu di salah satu kedai kopi langgananku jam 9 malam setibanya aku di
kota Isa.
Pertemuan itu sederhana
sekali, kami berdua duduk berhadapan dengan segelas coklat panas dan secangkir
green tea dan beberapa batang rokok yang tinggal putungnya di asbak. Tak ada
yang istimewa, mendengar nama “Arya” pun tidak. Sampai aku dengan berhati-hati
mengangkat nama itu menjadi topik pembicaraan.
Aku : “masih ingat saat kamu lapar malam hari gara-gara siangnya kita
makan sampai kenyang dan tertidur pulas. Bangun tengah malam dan seketika itu
pula kita merasa lapar sekali. Masih ingat? Apalagi seseorang yang bersedia
mengantarkan makanan di jam-jam bodoh itu. Cowok itu! Akh, siapa namanya aku
lupa.. Ari….a? ya, Arya. Gimana kabarnya ya?”.
Isa : “aku masih memperjuangkannya mati-matian, teman-teman dekatku saja
merasa bahwa aku seorang wirausahawan yang tangguh hanya karna aku berjuang
sendirian. Aku masih belum bisa melepaskan bayangannya, aih,,, senyumnya manis
sekali,,, sangatttt manis,,,”.
Aku : “Lalu?”.
Isa : “Wanita selalu butuh kepastian. Aku mengajaknya keluar untuk makan
bersama di sebuah restoran padang. Saat kesempatan untuk memandang matanya
kudapatkan. Aku keluarkan saja yang ada di hati dan pikiranku?”.
Aku : “dan dia bagaimana menanggapinya?”.
Isa : “tak berani menatap mataku, wallpapernya saja seorang wanita yang
lebih sempurna dibanding aku. Saat itu juga aku sadar, Arya bukan lelaki yang
patut diperjuangkan. Ia masih labil dan menang sendiri. Masih terlalu muda
untuk terinkat dengan perempuan yang lebih tua darinya. Ya sudahlah ….
Kulepaskan saja, toh aku yakin bahwa aku benar-benar pernah melekat dihatinya
dan itu masih membekas. Mungkin mantraku akan lepas saat dia mengucapkan ijab
qabul nanti”.
Aku : “ijab qabul? Gila, dengan yang mana lagi?”.
Isa : “mana aku tahu, yang penting aku sudah ikhlas. Aku tidak terbiasa
menggantungkan diri, apalagi pada angin. Angin yang dirupakan sesosok manusia”.
Aku : “Kau gila!!! Dulu kau memujanya hingga lupa daratan, hingga
telingaku bernanah mendengarnya. Sekarang bahkan kau terlihat jijik menyebut
namanya? Sudah kuduga, hanya satu lelaki yang setia di dunia ini. Ayah.”
Isa : “bahkan semisal ayahku seorang pelaku KDRT, penjudi, main
perempuan dan hal buruk lainnya. Apakah masih ada seorang lelaki yang setia
kepadaku?”
Aku: “aku tak bisa menjawab, dan aku juga tidak mampu menulis lagi. Ini kenangan terakhir untukmu”.