Senja di tepi pantai Watu Ulo tahun kedelapan bulan delapan dan genap delapan hari sesudah matahari tenggelam saat kita berpegangan tangan. Angin bertiup sepoi-sepoi membawa butiran air menampari wajah kita yang mulai hanyut dalam keindahan sinarnya. Lautan perlahan menciptakan butiran air yang sangat halus dan mengangkatnya ke udara membentuk gerombolan putih dan berjalan berarak menjadi awan. Epos dan buih ombak masih setia ditinggalkan gelombang memecah karang. Pantai berpasir hitam yang kian lama tersamarkan kegelapan malam.
Aku berjalan menyusuri tepi pantai,
menggandeng tangannya lekat-lekat. Aroma Bulgari
menenangkan pikiranku seakan membuatku ingin bersandar dipundaknya lebih lama.
Petang yang mulai datang memaksaku berjalan setengah berlari menerjang
kegelapan. Ini mungkin kali terakhirku berjalan bersamanya sebelum kita
memutuskan untuk berjalan pada rel yang berbeda.
Ada getar yang terasa ketika orang-orang
disekelilingku mengucapkan salam dengan nada yang manis. Semanis aroma kopi
pagi buatannya yang khas dengan tambahan caramel.
Karmel… Bunda Karmel adalah tempat ibadahku dan dia yang terakhir. Aku beberapa
kali mengunjungi Bunda Karmel saat dia mengajakku ibadah di hari minggu pagi.
Meski aku tidak diajari untuk berangkat pada dua tempat ibadah yang berbeda,
aku yakin tuhanku tidak akan marah kalau aku sekedar berkunjung… bukan
beribadah dengan dua iman yang berbeda.
Samanta Arthapati, pria penuh kejutan di
setiap hal dan menyayangiku sampai aku mati… terbukti suatu kali saat aku
kecelakaan lalu lintas diakhir tahun lalu dan kerap saat aku tiba-tiba
mengalami pobhia dan depresi. Dia lelaki yang eksotik, berbadan kekar dengan
kulit sawo matang yang sepanjang ingatanku tak pernah merokok dan meneguk martini, chivas regal dan
teman-temannya. Aku selalu berharap bahwa dia adalah Imam yang akan mengarahkan
kehidupanku kelak meski Tuhan kami tidak sama pun do’a kami akan berakhir pada
kata Amin yang sama.
Mantha berbeda, ia membiarkanku sembahyang
di masjid dan beberapa kali mengantarkanku saat kami masih sama-sama kuliah
dulu. Keyakinan kami pun sama bahwa Tuhan Cuma satu yang terbagi dalam beberapa
agama yang berbeda. Karena agama yang akan menerangkan pada kami bagaimana cara
kami berlaku dengan baik di dunia ini. aku terbiasa hidup dengan susah, sedang
mantha tak pernah kekurangan. Berbagi dari ini ke itu sampai begini dan begitu.
Perjalanan kuliah dipenuhi kegembiraan dari bagaimana kami bertukar pikiran,
barang, sampai khotbah-khotbah. Dan dari setiap khotbah dimanapun itu, agama
apapun itu, selalu penuh dengan hal positif yang membangkitkan semangat kami
untuk berpikir maju meniti masa depan.
Sebaik dan sesempurnanya dia tetap
merupakan kekurangan saat sebuah nilai utama kehidupan dinyatakan salah dimata
kedua orangtuaku, pun kedua orang tuanya. Tidak ada kebenaran dalam hidupku
bagi keluarga besarnya sedang ibuku pun bahkan tidak sempat berfikir bahwa ada
Imam yang lain yang mungkin mencoba memasuki keluarga kami yang taat.
Jikalau kau menghitung setiap detik yang
kau punya didunia ini. bagaimana aku harus menghitung jumlah detik itu bila aku
hidup dengannya lebih dari delapan tahun? Bahkan aku nyaris tidak akan lupa
bagaimana cara dia bernyanyi, menari, kentut, makan, tidur, ngupil dan merayu.
Bagaimana dia memutar ujung bolpen dan menunjukkan ekspresi cengo. Oh tuhan,
bagaimana bisa delapan tahun itu diakhiri dalam satu hari? Itu cobaan yang
sulit kulalui dalam masa-masa ini.
Matahari tenggelam, seikat mawar merah dan
sebuah sarung tangan jadi saksi saat kami berpisah. Tanpa kata-kata, hanya ekspresi
kedukaan yang menggelanyuti wajah dan pikiran. Lusa kami akan berangkat ke
bandara pada waktu yang sama dengan tujuan yang berbeda. Aku berlari mengejar
matahari tenggelam dan dia mengejar matahari terbit. Lalu setelah itu, ini
hanya sebuah kisah yang pernah ada didunia dan dilupakan orang. Cukup berakhir seperti
ini saja.