Ketika
aku beranjak dewasa, aku mencoba mencari jati diri dan arti kehidupan ini.
Belajar, merupakan caraku untuk mengerti apa yang tak mampu kupahami. Belajar
dengan membaca, mendengar dan melihat. Banyak yang kulalui dengan kata “iya”
dan “tidak”. Dari itu mulai aku mengerti. Kata “belajar” membuatku berani
bermimpi lebih tinggi, melewati batas-batas logika kehidupan. “belajar” pula
yang membuatku berlari memburu mimpi. Dan kemudian aku sadar. pada hari sabtu
ini, minggu ke-empat bulan September ditahun yang sama saat aku menjadi
mahasiswa baru PTN favorit di Jawa Timur. Aku temui sisi yang lain dari kehidupan.
“Belajar” membuatku memandang sesuatu dengan perspektif
lebih tinggi, hingga tanpa sadar melupakan mereka yang lebih rendah. Disebuah
dusun Tlogosari namanya, masih diwilayah kota malang. Tapi hidupnya tak ubah
seperti masyarakat yang terpinggirkan. Masih banyak dijumpai rumah-rumah dari
anyaman bambu, jalan berdebu yang tersusun dari batu-batu yang ditata tanpa
diaspal. “Daerah dataran tinggi yang suhunya berbeda antara siang dan malam”,
kata seorang warga yang kami wawancarai tadi. Siti aminah namanya. Seorang ibu
muda beranak satu yang menikahnya pun diusia muda. Umurnya baru 20thn. Anaknya
berumur 4thn, sedangkan suaminya, solikhin berumur 23thn.
Dalam masyarakat suku Madura memang ada filosofi yang
berkembang bahwa menikah muda memang dianjurkan oleh orang tua mereka. Pasalnya
untuk mendekatkan hubungan antara garis keturunan keluarga mereka. Hingga
sering dijumpai hubungan antara suami dan istri adalah saudara sepupu, atau
saudara dari paman dan bibi-bibi mereka. Mungkin juga karena filosofi ini.
Lebih banyak suku Madura yang tinggal dipulau jawa. Tetapi hidup mereka
kebanyakan hidup dibawah kecukupan. Ibu siti tak ubahnya kebanyakan warga yang
lain, dijodohkan diusia muda dengan seorang lelaki biasa dari sukunya. Jauh
dari pusat keramaian dan informasi, hingga jauh pula berharap tinggi dari sisi
akademik. Dan pada akhirnya jauh pula kehidupan layak darinya.
Rumahnya dari anyaman bambu, reot, kotor, beratap rendah
dan bocor bila hujan datang. Masih
Berlantai tanah, dengan kursi-kursi sederhana, tanpa peralatan
elektronik, masih menggunakan tungku kayu. Tekstur tanahnya yang landai
dibelakang rumahnya membuat air hujan yang turun dari langit membanjiri
dapurnya dan masuk kedalam kamarnya. Rumah kecilnya pun berdiri di tanah orang
lain. ibu siti tidak bekerja sedangkan Pendapatan pak solikhin dari bekerja
sebagai pembuat batu bata sendiri hanya Rp. 400.000/bulan, gaji yang sedikit
itu terkadang tidak cukup untuk hidup selama sebulan bersama keluarga kecilnya.
Terkadang suaminya juga bekerja serabutan.
Kendaraan yang mereka punyai pun hanya alas kaki berupa sandal.
Keadaan dikampung itu pun selain perbedaan antara cuaca
disiang dan malam yang mencolok,cair bersih pun susah didapatkan. Beberapa
warga yang mampu mempunyai sumur bor sendiri, tapi bagi yang kurang mampu,
mereka menumpang ditetangganya. Walaupun begitu, air masih sering mati.
Sehingga mereka harus mengambil air didaerah yang lebih rendah dan jauh dari
rumah. Atau mereka memanfaatkan air sungai yang letaknya juga jauh untuk keperluan
MCK. Jarak antara sumber air dengan rumah mereka sekitar 30menit ditempuh
dengan sepeda motor.
Status sosial bisa didapatkan dengan banyak cara, bisa
dengan kekayaan harta atau pun akademik. Namun bagi mereka hal ini tidak
penting. Mereka sudaah bisa hidup layak saja sudah bersukur. Bila dipikir
ulang, ketidakmampuan mereka karena tingkat pendidikan yang rendah. Karena
tingkat pendidikan yang rendah, mereka tidak mempunyai kemampuan dan kecakapan
yang baik. Akibatnya perusahaan atau penyedia lowongan pekerjaan enggan
menerima mereka. Akhirnya mereka melakukan pekerjaan kasar, dengan upah yang
sangat rendah. Pemerintah seharusnya ikut bertanggung jawab atas hal pendidikan
ini. Bila pendidikan bisa dijangkau oleh semua golongan masyarakat. Maka secara
tidak langsung akan mendukung tingkat pertumbuhan ekonomi akan naik.
Masyarakat dilingkup R.T./R.W. :01/06 Dsn. Tlogosari yang
kami kunjungi merupakan masyarakat suku Madura yang tinggal menetap di wilayah
kota malang semenjak kakek dan nenek mereka. tapi ayalnya, sebagian dari mereka
hanya mengerti bahasa Madura. Seharusnya mereka juga bisa berbahasa persatuan
kita, bahasa Indonesia. Sekalipun mereka buta aksara. Untuk bahasa jawa, walau
tidak bisa berbahasa jawa halus, mereka harusnya juga bisa. Karena mereka sudah
tinggal lama di pulau jawa yang mayoritas bermasyarakat suku jawa ini. Semuanya
seperti kemungkinan, misalkan saja karena mereka masih kukuh dengan bahasa
daerah mereka, penduduk asli daerah itu tidak mau berbaur dengan pendatang
sehingga seperti terjadi differensiasi kebudayaan. Akibatnya kedua golongan itu
menjadi tertutup.
Selain beberapa sebab lingkungan sosial ekonomi diatas,
ditinjau dari pola persebaran penduduk, masyarakat di dusun tersebut berpola
linier mengikuti jalan dan memusat. Karena tanah yang mereka tempati di atas
dataran tinggi yang mempunyai lereng hanya beberapa derajat saja. Bila kita
melihat rumah-rumah penduduk. Tanah antara muka dan belakang rumah tidak rata.
Kadang ada yang depan rumah lebih tinggi ataupun sebaliknya. Susahnya kata ibu
aminah, tanah dibelakang rumahnnya lebih tinggi dan tanah didepan rumah datar.
Akibatnya bila hujan turun air akan masuk kedalam rumah karena rumah dari bambu
itu tidaklah lebih tinggi lantainya dari tanah pekarangannya. Ditambah lagi
atap rumah banyak yang pecah. Jadi walaupun sudah kena banjir, bocor pula.
Rumah yang tidak layak ditinjau dari segi kenyamanan, kelayakan dan kesehatan.
Ibu muda itu hanya berharap dari bantuan pemerintah
mengenai bantuan fondasi dan tembok depan rumah, selama ini bantuan itu hanya
diberikan kepada janda miskin atau orang tua yang sudah sepuh. Tapi bila kita
berpikir realistis, bukankah yang berumur lebih muda harus lebih produktif
dalam menghasilkan income untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Karena bila yang
muda tidak aktif dan terus mengandalkan bantuan pemerintah. Akan semakin banyak
pula beban pemerintah mensejahterakan rakyatnya.
Belum
lagi masalah listrik, pasokan listrik didaerah itu masih mengandalkan warga
yang menyambung dari PLN. Mereka menumpang ditetangga mereka yang mampu dan
membayar iuran sebagai gantinya sebesar Rp.15.000/bln. Harapan terbesar mereka
adalah mampu hidup layak seperti masyarakat kebanyakan lainnya. Seandainya
kemiskinan bisa teratasi secara perlahan tapi pasti, tak ayal kalau Indonesia
akan menjadi Negara maju seperti Negara-negara di eropa.