Senja
dimata ayah
Pagi
ini kabut turun lagi , mentari tiada nampak dalam dinginnya musim kemarau.
Mungkin karena kemarau tahun ini lebih panjang dari tahun lalu, hingga malam
pun terasa lebih dingin seperti suasana pagi didataran tinggi yang berbeda suhu
antara siang dan malamnya. Pagi ini juga masih sama seperti pagi-pagi yang
telah berlalu. Orang-orang sudah bangun dari tidurnya dan berangkat ke sawah-sawah
tempat mereka mencari kehidupan. Masih pagi yang sama saat aku bangun dan pergi
bekerja. Mencari sesuap nasi dengan bekerja saat libur semester panjang. Apa
yang bisa dilakukan seorang gadis semester satu yang kuliahnya berbeasiswa
disebuah kampung yang jauh dari hirup pikuk kapitalisme yang segalanya dinilai
dengan uang.
Ini
bukan hidup yang bebas sedang ilmu pengetahuan masih mahal disini. Bukan karena
tak terjangkau. Tapi karena masyarakat kampungku tidak berharap hidup bekerja
dari pendidikannya. Mereka memilih cara hidup instan dengan bekerja dan mencari
makan untuk hidup hari ini dan esok. Tapi ayahku, adalah orang yang berbeda.
Ayah peduli pada pendidikan anak-anaknya. Beliau menyekolahkan kami hingga kami
mampu bertahan melawan kehidupan. Iya ayahku. Dipagi buta ini dia sudah bangun
sebelum ayam-ayam peliharaannya berkokok. Sembahyang subuh, memberi makan ayam
dan berangkat kesawah. Pada tanamannya ia sangat teguh terlihat.
Musim
tembakau kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Udara yang cukup dingin
membuat tembakau-tembakau itu tumbuh lebih baik. Seingatku selama beberapa
tahun yang lalu tembakauku tak pernah baik. Bahkan ayah pernah merugi sangat
banyak karena hasil panen jauh dari harapan. Beliau masih tetap tabah dan
percaya pada tuhan. Beliau bilang semangat dan rajinlah bila menuntut ilmu.
Karena itu yang membawa kemuliaan pada hidup seseorang. Jangan menyerah untuk
sesuatu yang kita inginkan dan pantas untuk kita dapatkan. Itu yang membuatku
bertahan melawan badai kehidupan sampai saat ini.
Usia
membuat ayahku terlihat lebih kurus dan bertambah hitam karena tiap hari
terbakar terik matahari. Beliau tak pernah mengeluh pada kami,-anak-anaknya.
Hingga terkadang usia membuatnya tak sekekar dulu, tak leluasa bekerja dan bila
ia sakit, kami sangat perhatian padanya. Mungkin ayahku tak berpendidikan
secara formal, tapi ia lebih pintar dan bijaksana daripada seorang sarjana
berembel-embel sepanjang jalan.
Ibu
baru saja selesai memasak sarapan pagi untuk kami. Setelah aku dan adik
bungsuku sarapan, kami pergi ke sawah untuk mengirim sarapan pagi buat ayah.
Dalam perjalanan melewati pematang-pematang sawah, adik bungsuku, si zilni
terjatuh tapi kemudian ia tertawa lebar. Itu suatu bukti kalau dia
menikmatinya. Seorang anak kecil akan belajar dari kesalahannya untuk
memperbaiki diri, tak seperti orang-orang dewasa yang takut jatuh disaat dia
ada di atas awan. Aku sangat sayang padanya. Dan dengan usapan dikepalanya, ia
masih mau melanjutkan perjalanan pagi ini.
Aku
melihat ayahku membanjiri sawah kami dari saluran irigasi yang ada disamping
kanan sawah kami. Adikku riang bukan main. Ia turun kebawah bermain air dan
lumpur. Aku pun mulai berpikir bagaimana cara membawanya pulang nanti. Dia
kotor dan aneh sekali bila aku pulang bersamanya. Itukan cukup memalukan.
Setelah
selesai sarapan, aku lihat sebuah pelangi dimata ayah. Sendu seperti senja. Aku
bertanya dalam hatiku sendiri tentang apa yang terjadi. Setelah aku terdiam
lebih lama. Aku pulang saja membawa Tanya. Ah, semakin susah ditebak saja raut
wajah ayahku, dan pada akhirnya aku mencari tau sendiri apa yang ayah pikirkan.
Sudah
dua minggu aku berada dikampungku, semuanya masih terasa sama. Janji pada
sahabat SMA-ku, ryan namanya. Kami berkawan sejak dibangku SD. ia yang masih
tinggal dikampung, ibunya bekerja serabutan dan ayahnya sudah meninggalkan
ibunya ketika ia masih berumur dua tahun. Sahabat karib yang sangat baik.
Karena itu juga ia tidak melanjutkan sekolah tingginya. Kau tau kan kawan?
Sekolah atau kuliah itu ditukar dengan kertas- kertas indah yang berwarna bagus
skali. Baik yang berwarna merah, biru, ungu, hijau hingga kepingan-kepingan
warna emas dan perak. Tapi kepingan itu sangat berat dan jauh tak bernilai dari
yang kertas.
Deburan
ombak membawa serpihan butiran-butiran garam itu melekat dimuka dan terasa
lengket. Belum lagi buih yang menggoda kami untuk turut bermain bersamanya.
Pantai adalah tempat yang indah untuk melepaskan segala penat dan rindu pada
mereka yang terkasih. Rasanya Baru
kemarin aku pergi menuntut ilmu, tapi temanku jauh berbeda dari terakhir aku
melihatnya. Entah apa yang berbeda darinya, yang aku tau dia terlihat berbeda.
Perbincangan hangat pun mulai terjadi saat kami sadar kalau kami pernah
berkawan sejak lama. Semakin lama semakin deras saja tawa kami menghiasi pagi
indah ini. Kawan karib yang sifatnya masih saja menyebalkan tapi paling bisa
diandalkan.