post Istimewa

Jumat, 11 November 2011


Senja dimata ayah

Pagi ini kabut turun lagi , mentari tiada nampak dalam dinginnya musim kemarau. Mungkin karena kemarau tahun ini lebih panjang dari tahun lalu, hingga malam pun terasa lebih dingin seperti suasana pagi didataran tinggi yang berbeda suhu antara siang dan malamnya. Pagi ini juga masih sama seperti pagi-pagi yang telah berlalu. Orang-orang sudah bangun dari tidurnya dan berangkat ke sawah-sawah tempat mereka mencari kehidupan. Masih pagi yang sama saat aku bangun dan pergi bekerja. Mencari sesuap nasi dengan bekerja saat libur semester panjang. Apa yang bisa dilakukan seorang gadis semester satu yang kuliahnya berbeasiswa disebuah kampung yang jauh dari hirup pikuk kapitalisme yang segalanya dinilai dengan uang.

Ini bukan hidup yang bebas sedang ilmu pengetahuan masih mahal disini. Bukan karena tak terjangkau. Tapi karena masyarakat kampungku tidak berharap hidup bekerja dari pendidikannya. Mereka memilih cara hidup instan dengan bekerja dan mencari makan untuk hidup hari ini dan esok. Tapi ayahku, adalah orang yang berbeda. Ayah peduli pada pendidikan anak-anaknya. Beliau menyekolahkan kami hingga kami mampu bertahan melawan kehidupan. Iya ayahku. Dipagi buta ini dia sudah bangun sebelum ayam-ayam peliharaannya berkokok. Sembahyang subuh, memberi makan ayam dan berangkat kesawah. Pada tanamannya ia sangat teguh terlihat.

Musim tembakau kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Udara yang cukup dingin membuat tembakau-tembakau itu tumbuh lebih baik. Seingatku selama beberapa tahun yang lalu tembakauku tak pernah baik. Bahkan ayah pernah merugi sangat banyak karena hasil panen jauh dari harapan. Beliau masih tetap tabah dan percaya pada tuhan. Beliau bilang semangat dan rajinlah bila menuntut ilmu. Karena itu yang membawa kemuliaan pada hidup seseorang. Jangan menyerah untuk sesuatu yang kita inginkan dan pantas untuk kita dapatkan. Itu yang membuatku bertahan melawan badai kehidupan sampai saat ini.

Usia membuat ayahku terlihat lebih kurus dan bertambah hitam karena tiap hari terbakar terik matahari. Beliau tak pernah mengeluh pada kami,-anak-anaknya. Hingga terkadang usia membuatnya tak sekekar dulu, tak leluasa bekerja dan bila ia sakit, kami sangat perhatian padanya. Mungkin ayahku tak berpendidikan secara formal, tapi ia lebih pintar dan bijaksana daripada seorang sarjana berembel-embel sepanjang jalan.

Ibu baru saja selesai memasak sarapan pagi untuk kami. Setelah aku dan adik bungsuku sarapan, kami pergi ke sawah untuk mengirim sarapan pagi buat ayah. Dalam perjalanan melewati pematang-pematang sawah, adik bungsuku, si zilni terjatuh tapi kemudian ia tertawa lebar. Itu suatu bukti kalau dia menikmatinya. Seorang anak kecil akan belajar dari kesalahannya untuk memperbaiki diri, tak seperti orang-orang dewasa yang takut jatuh disaat dia ada di atas awan. Aku sangat sayang padanya. Dan dengan usapan dikepalanya, ia masih mau melanjutkan perjalanan pagi ini.

Aku melihat ayahku membanjiri sawah kami dari saluran irigasi yang ada disamping kanan sawah kami. Adikku riang bukan main. Ia turun kebawah bermain air dan lumpur. Aku pun mulai berpikir bagaimana cara membawanya pulang nanti. Dia kotor dan aneh sekali bila aku pulang bersamanya. Itukan cukup memalukan.

Setelah selesai sarapan, aku lihat sebuah pelangi dimata ayah. Sendu seperti senja. Aku bertanya dalam hatiku sendiri tentang apa yang terjadi. Setelah aku terdiam lebih lama. Aku pulang saja membawa Tanya. Ah, semakin susah ditebak saja raut wajah ayahku, dan pada akhirnya aku mencari tau sendiri apa yang ayah pikirkan.

Sudah dua minggu aku berada dikampungku, semuanya masih terasa sama. Janji pada sahabat SMA-ku, ryan namanya. Kami berkawan sejak dibangku SD. ia yang masih tinggal dikampung, ibunya bekerja serabutan dan ayahnya sudah meninggalkan ibunya ketika ia masih berumur dua tahun. Sahabat karib yang sangat baik. Karena itu juga ia tidak melanjutkan sekolah tingginya. Kau tau kan kawan? Sekolah atau kuliah itu ditukar dengan kertas- kertas indah yang berwarna bagus skali. Baik yang berwarna merah, biru, ungu, hijau hingga kepingan-kepingan warna emas dan perak. Tapi kepingan itu sangat berat dan jauh tak bernilai dari yang kertas.

Deburan ombak membawa serpihan butiran-butiran garam itu melekat dimuka dan terasa lengket. Belum lagi buih yang menggoda kami untuk turut bermain bersamanya. Pantai adalah tempat yang indah untuk melepaskan segala penat dan rindu pada mereka yang terkasih. Rasanya  Baru kemarin aku pergi menuntut ilmu, tapi temanku jauh berbeda dari terakhir aku melihatnya. Entah apa yang berbeda darinya, yang aku tau dia terlihat berbeda. Perbincangan hangat pun mulai terjadi saat kami sadar kalau kami pernah berkawan sejak lama. Semakin lama semakin deras saja tawa kami menghiasi pagi indah ini. Kawan karib yang sifatnya masih saja menyebalkan tapi paling bisa diandalkan.