post Istimewa

Jumat, 21 Februari 2014

Bunda dan Ayah kita

            “……………………apa niat kalian untuk kuliah?” orang yang masih aku panggil dengan sebutan bapak bertanya pada kami yang dini hari ini sudah tiba di sekret JKJT untuk briefing konsumsi.

            “biar nggak cepat-cepat dinikahkan pak. Jadi memperpanjang masa lajang.” Jawabku penuh pertimbangan.

            “Kalau kamu?” menunjuk satu per satu dari tujuh orang se-timku.

            Beragam jawaban yang telah mereka lontarkan memiliki inti yang sama. Ada yang karena ingin mencapai cita-cita, ingin belajar ilmu yang didalami, memiliki pekerjaan yang menghasilkan dan untuk surfing masa muda yang jangkanya masih lama. Sempat antara kami bertujuh dan bapak itu ada beberapa jeda untuk berfikir dan saling melempar kata. Dan beliau masih menanggapinya dengan wajah teduh.

            Lalu setelah satu demi satu jawaban terkantongi, bapak itu mulai memberikan argument mematikannya. Ya, kenapa aku bilang mematikan? Karena aku tidak pernah bisa selalu setuju dengan pemikiran orang-orang. Aku selalu memberi batasan tinggi pada pemikiranku sendiri. Layaknya jaring/pukat harimau yang menyambar ikan paling kecil, agar semua hal yang aku dengar dapat aku serap kebenarannya. Dan beliau berhasil membuatku menerima penuh pemikirannya tanpa sempat menyekat kata tak bermakna. Kata-katanya begitu tertata dan sempurna.

            “hampir semua orang selalu berkata seperti itu. Mereka ingin meraih pekerjaan yang menjadi cita-cita dan harapan. Setiap orang berlomba untuk meraih kebebasan pribadi. Namun, itulah cacat pendidikan kita. Itu yang mematikan pikiran kita untuk berkembang. Kenapa ayah bilang begini? Karena sejatinya dari pendidikanlah kita dapat belajar agar hidup yang kita miliki jadi bermanfaat.” Tukas bapak itu.

            Bermanfaat,,, bermanfaat,,, bermanfaat… kata yang terus aku camkan pada diriku sendiri. Apakah aku pernah berfikir bahwa aku hidup untuk bermanfaat? Bapak itu menyatakan bermanfaat dengan makna yang paling telak. Karena dengan bermanfaat, seseorang pasti melakukan dengan tulus. Ketulusan itulah yang mengantarkan kita pada kesuksesan. Bukan sekolah untuk meraih kesuksesan melainkan bersekolah untuk mengerti bagaimana membuat hidup yang bermanfaat dan rasa tulus menghasilkan kesuksesan dari hal-hal yang kita kerjakan.

            Kami bercerita banyak hal. Tentang pendidikan, anak-anak, peran pemerintah, kegiatan sosial, dan kemanusiaan. Hal yang peling sering didengungkan dari tempat yang aku berada kini. Apakah kamu masih ingat ketika kita masih duduk di bangku sekolah dasar? Guru-guru kita yang selalu ramah mendogma kita dengan kata-kata “siapa yang punya cita-cita jadi dokter? Klo mau jadi dokter harus ? (pintar), klo mau pintar harus rajin be…? (lajar). Ya… sejak kita masih di sekolah dasar, dogma menjalari pemikiran bening kita. Yang menjadikan kita terkungkung dengan alasan kita harus bersekolah. “Kebebasan” harusnya kata ini yang banyak didengungkan pada kita kala itu, agar kita tidak membatasi diri dengan cita-cita yang tinggi dan sudut pandang sempit. Bukankah klo kamu ingin bekerja menjadi …(sesuatu). Kamu bisa menempuh lewat jalur pendidikan seperti sarjana, program master yang semua itu harus dibayar dengan uang. Uang… artinya, mimpi bisa dibeli asal kita punya duit.

            Beliau juga berkata tentang kehidupan. Kamu tau kan kalau ada orang kaya pasti ada orang miskin!.  Orang kaya adalah orang yang mulai jaman embah kakungnya udah kaya atau orang yang pintar memanfaatkan kemampuannya untuk melindas yang lain. Mereka yang sering kita sebut kumuh dan miskin bukan karena mereka orang bodoh. Mereka bukan miskin karena keadaan. Tapi keadaanlah yang membuat mereka bertambah miskin. Seorang anak yang setiap hari ngamen sebenarnya nggak berharap ngamen menjadi ladang pekerjaannya. Bisa jadi dia pintar bukan?. Dia jadi semiskin itu karena dia tidak bisa belajar di bangku formal maupun informal. Dia harus membuang seluruh waktunya dijalanan untuk mendapatkan uang. Demi kebutuhan lambung tengahnya. Sehari dia lengah, anak jalanan itu bisa saja mati. Benar kan?

            Di tempat ini pula banyak anak jalanan yang datang untuk menginap dan pergi begitu saja. Seperti itu setiap kalinya. Anak-anak dengan tattoo, tindik dimana-mana, pricing, rambut botak, dicat dan banyak pula yang gondrong. Kulit mereka coklat kehitaman yang terlihat lusuh dan seperti tak pernah mandi. Ya, mereka orang-orang jalanan. Tapi kamu tau tidak? Mereka punya harapan besar untuk berubah menjadi lebih baik. Mereka suka diajari apapun, apapun yang bisa kau ajarkan. Senyum mereka… merekah tulus dengan sangat lebar. Mata mereka penuh dengan harapan yang sedang tertutup pasir hitam, keruh tak berdasar. Mereka manusia…. Apakah kamu pernah memanusiakan manusia?

            Itu kata-kata paling mengenang dipagi butaku hari ini. Sebagai seorang relawan yang baru kali ini turut serta dalam sebuah acara jaringan kemanusiaan, kami banyak bertemu orang-orang baru dengan latar belakang yang sangat berbeda. 180˚berbeda dengan kita sayang L mereka sebagian besar bertato, berambut panjang dan seperti preman tobat. Usut punya usut ketika aku mencoba mengobrol dengan relawan lain. Mereka yang secara fisik seperti itu adalah orang-orang dengan masa remaja kelabu yang telah menemukan titik balik. Hati nurani mereka kini berfungsi lebih baik, obat penghapus sesal atas kelakuan buruk mereka dulu. Hati nurani… hati nurani yang menuntun mereka menuju jalan kemanusiaan.

            Setelah bercakap-cakap dengan beliau, bunda maria yang kerap kami sapa bunda ria mengajak kami pindah ke basecamp konsumsi. Tempat kami mengatur makanan yang akan didistribusikan pada 278 pasang calon pengantin. Sempat sebelumnya down karena ditunjuk menjadi leader untuk membagikan konsumsi yang kata bunda, dibatasi itu. Klo berkata jahat. Ya, kita sedang menjadi orang jahat. Karena kita orang konsumsi yang dituntut adil dan rata. Sementara bunda sempat berkata saat briefing sebelumnya bahwa bunda hanya menuntut tanggng jawab pada kita sebagai orang yang diberi kepercayaan memegang konsumsi. Sempat aku dan ketiga temanku hampir tepar karena kami harus membagi ratusan nasi kotak, padahal sejak pukul tiga pagi saat kami tiba, kami belum pernah mengunyah dan minum sesuatu sama sekali. Ya, orang konsumsi itu keras. Kejam brooo…

            Dan selepas membagikan jatah makan pagi, aku sempat bertegur sapa dengan seorang mas yang bertugas di perlengkapan gedung. Ketika aku bertanya seorang lelaki yang sempat aku panggil bapak tadi ternyata bernama Agustinus (singkat: Ag.) Tedjo atau yang sering dipanggil oleh semua orang dengan sebutan ayah. Orang yang berjuang untuk memanusiakan manusia mulai ujung negeri ini ke ujung yang lainnya dinusantara. Ayah adalah pendiri jaringan kemanusiaan jawa timur dan menjabat sebagai ketua umum. Wow… orang yang aku sapa tadi pagi adalah ayah kami semua. Walau hanya bercakap-cakap selama lima belas menit. Ilmu-ilmu berharganya banyak yang telah kami serap.

            Ayah adalah anak seorang dosen di kampusku dulu. Saat kecil beliau hanya sekolah TK selama satu tahun, bangku sekolah dasar lima tahun, bangku sekolah menengah dua tahun dan sekolah tertingginya hanya sampai S2. Ya… SMA kelas dua. Hal ini sebagai sebuah bentuk protes ayah terhadap pendidikan yang membekukan pemikiran kita. Ayah menentang pendidikan dengan keras… sampai akhirnya dia jatuh dalam pergaulan jalanan. Ada sesal yang sempat terucap, namun dia selalu bersyukur karena mungkin dengan cara itu, ayah bisa menolong orang lain lebih banyak.

            Oia, sempat beliau berucap tentang bunda ria. Bunda ria adalah ibu dengan dua anak yang sangat cantik dan tampan. Julian dan saudaranya tidak pernah tau siapa bapaknya. Bunda adalah korban kekerasan terhadap wanita. Dia sempat jatuh terpuruk dalam kubangan tak berdasar. Hingga ia tersadar dan mencoba bergabung dengan jaringan kemanusiaan dan memperjuangkan hak-hak wanita yang terenggut orang lain. Ya, sekarang bunda memperjuangkan hidupnya hanya untuk orang lain. Itulah mengapa bunda terkenal dengan sikap keras dan tegasnya. Semua tau ini, dan semua memanggilnya bunda. Tapi beliau memperlakukan manusia layaknya manusia. Bagaimana menghargai orang lain, mempercayai orang lain, menyemangati orang lain, memeluk kami kala kami mengeluh dan menggandeng erat tangan kami saat berlari kearah mobil patrol yang membawa ratusan pasangan suami-istri. Bunda…. Kami sayang bunda…

            “dulu ada seorang anak perempuan. Dia lahir dari rahim seorang pelacur dan ibunya membuangnya. Bayi perempuan itu ditemukan oleh seorang pemulung. Maka ia dibesarkan oleh keluarga pemulung. Namun, ketika gadis itu berumur dua belas tahun. Seorang pemuda yang berstatus mahasiswa salah satu perguruan tinggi dikotaku telah memperkosanya dan mencampakkannya. Dalam keputusasaannya kala itu, dia menemukan tempat bernaung. Ya, jaringan kemanusiaan ini mau menampungnya. Kata ayah, hampir semua orang peduli dan care dengannya. Bahkan, mereka mengganggap gadis itu sebagai salah satu bagian dari alasan mengapa kemanusiaan patut ditegakkan. Ya, semua relawan juga bersimpati padanya. Namun, dia memilih keputusan untuk menghilangkan nyawanya sendiri dan menuliskan sebuah pesan. Yang berbunyi :
            Ayah, sudah takdir dewi untuk memilih jalan ini. Maafkan dewi ayah, dewi mengambil jalan ini karena dewi tidak ingin meneruskan karma dewi pada anak yang dewi kandung. Terima kasih untuk perhatian dari ayah selama ini.
Cessss…… tiab-tiba bulu kudukku berdiri. Pertanda apa ya Tuhan… dia tidak memilih lahir kedunia dari ibu yang mana. Tapi takdir begitu keras. Sebenarnya akan ada jalan yang terang sesudah gelap. Namun dia telah memilih untuk berhenti pada jalan yang gelap. Dia tidak salah, yang salah adalah kita. Karena kita tidak pernah peduli pada orang lain. Ya, kita yang selalu judge the book by the cover. Maka, marilah kita mengubah mindset kita. Karena diluar sana, ada jutaan orang yang hidup jauh dibawah kita saat ini.