Mulai menarikan jariku diatas
pembaringan huruf dan angka, adalah menuliskan tentangmu.
Tentang perjalanan panjang kita.
Menuliskan tentangmu adalah
bagaimana aku belajar jatuh lagi, untuk lubang yang lebih dalam.
Meski perih, lecet, tergores dinding-dinding
tanah dimana aku terjatuh, aku masih bisa tersenyum setelahnya. Meski pada
realita kau tak pernah berada disampingku untuk mengusap rambutku lagi ketika
aku marah .
Banyak yang mengira aku sudah
menutup mata ini untuk mahluk seindah wanita, karena aku masih bertahan dengan
status yang sama sampai hari ini. Mereka tidak tau, tidak pernah tau alasan
itu. Bahkan alasan macam apa itu. Hanya Tuhan dan kita yang mengerti. Itulah
yang membuatku bertahan tersenyum sampai pagi ini.
Mereka tidak pernah tau seberapa
bahagianya kita, ketika burung-burung gereja menyanyi dibawah pohon beringin
sedang kita hanya terdiam, menikmati sore yang khidmat. Jarang terucap
janji antara kita karena menjalani itu adalah sebuah janji terhadap apa
yang kita percaya, sebagai akhir dari hidup, sebagai pangkal dari keyakinan
akan Tuhan. Kita percaya
surga.
Apa karna kita terlalu muda saat
itu?
Menurutku usia 16 tidak terlalu muda.
Meski menurutmu muda itu dibawah 40 tahun.
Kita tidak terlalu muda untuk
mengerti, juga tidak terlalu tua untuk memahami apa yang terjadi akhirnya saat
ini. Lebih dari 2 musim jarak yang membentang. Lebih dari tahunan cahaya yang
memisahkan kita saat ini. Karena kita pernah hidup sangat dekat. lebih dari kelopak mata kita sendiri. Bahkan lebih dekat dari pada mengedipkan mata, atau
terbangun dari tidur.
Kita begitu dekat, hingga banyak
yang tidak bisa membedakan, itu aku atau dirimu.
Karena mata kita satu, hati kita
satu.
Apa yang kau lihat adalah pencitraan
indraku, apa yang kau dengar adalah rekaman untukku.
Apa yang kau katakan adalah
kalimat-kalimat kita. Mereka selalu tidak bisa membedakan itu aku atau dirimu.
Kadang dirimu sepenuhnya merasuk didalam
diriku, kadang sebaliknya.
Hingga kita sering ribut sendiri,
siapa yang lebih mencintai diantara yang lain.
Sebelum menutup mata untuk istirat,
wajahmu dan senandungmu yang menemaniku
Ketika membuka mata. Hanya wajahmu
yang kulihat, atau aku akan pergi tidur lagi.
Hingga akhirnya kita tidak begitu
memahami tentang apa semua ini.
Kecuali tentang kebahagiaan.
Kita belum memahami bahwa setiap
tangis adalah tawa, setiap tawa adalah airmata.
Setiap pagi adalah malam
Dan setiap malam adalah penantian
untuk hal yang masih kita percaya sampai saat ini.
Menulis tentangmu adalah sebuah
syair yang tak berujung, sebuah rasa syukur yang mendalam. Dan sebuah
sakit yang melegakan.
Malang፣ 14 Mei 2013