Tiba-tiba air mataku terjerembah.
Menetes ke bawah dengan derasnya tanpa kusadari. Pikiranku tertuju pada satu
objek yang dulu selalu kusanjung dan selalu menguatkan pijakan kakiku. Aku
merundukkan kepala, aku rindu… aku rindu pada-Mu.
Semalam aku dan teman-teman yang akan
didelegasikan untuk mengikuti sebuah perlombaan tingkat nasional di luar kota
telah usai melakukan gladi bersih. Kru panggung, sutradara dan aktor berbagi
tugas dan semangat hingga selarut ini ketika mahasiswa lain telah tidur, kami masih
tetap berkegiatan. Aktor yang semakin mantap, harmoni musik yang semakin halus,
lighting yang memanjakan mata dengan konsentrasi intensitas cahaya dan segenap
tim sukses beserta punggawa hampa dan seluruh teman-teman komunitas lain yang
turut berpartisipasi melihat karya kami.
Malam ini sudah terlalu larut, seperti
malam-malam sebelumnya. Aku yang kebagian me-make up-I aktor, setiap malam
harus bersabar dengan foundation, rembug, lira, blush on serta shadow yang
warnanya sangat beragam. Yah, mungkin tiap orang yang mengenalku secara
langsung tau pembawaanku. Berpakaian seadanya tanpa make up karena make up itu
memakan waktu. Namun kini aku harus bisa merubah aktorku menjadi seseorang
dengan make up yang terlihat “Beautiful underlamp”. Ada punggawa lain yang
lebih mahir merias wajah, namun karena keluar kota dan manusia yang turut serta
seadanya. Maka aku harus mampu merias ^_^. Jadi klo yang mahir butuh waktu 1,5
jam, maka aku bisa butuh waktu hampir 4 jam untuk merias seorang aktor.
Selesai semua perihal yang menyangkut
persiapan panggung, kami membereskan tempat yang kami pakai dan pergi tidur.
Tidur di pagi buta…………………… buta tanpa mentari, tanpa cahaya..
Alhasil kami bangun jam 7 pagi, itu
bagi yang bangun. Masih ada yang belum memejamkan mata demi proyek download
kartun horror. Atau yang masih nyenyak dengan deringan alarm(*kebangeten
alaramnya sampe gak bisa bangun -_-)… dibukalah percakapan pagi kami disanggar.
TV masih asik menyala tanpa tau siapa yang melihatnya, laptop tetap menyala
dengan layar tipisnya. Ada dua orang yang semenjak pagi tadi ramai bercengkram.
Mereka adalah kru panggung yang secara nyata dan sadar berkata
“suwe yo gak tau sholat, aku pingin sholat
jar.. “(lama ya nggak pernah sholat, aku ingin pergi sholat jar)
Sontan pernyataan itu mendapat
tanggapan positif dari teman-teman. Bahkan yang tadi belum bangun mendadak
sudah bangun dan dalam kondisi duduk sambil mengucek-ngucek mata.
“Iyo ting, aku yo suwe gak
sholat, aku pingin sholat ting. Ngko awakmu sing ngimami yo ting. Awakmu lak
tau dadi arek pondok’an to” sambut gunajar. (iya ting, aku juga lama nggak
pernah sholat. Aku ingin pergi sholat ting. Ntar kamu yang jadi imamnya ya
ting. Kamu kan dulu pernah jadi santri pondok).
“iyo, tapi aku suwe gak tau
sholat, aku wedi ngimami. Ngko bacaanku salah piye?” sambut kriting. (Iya,
tapi aku lama nggak pernah sholat, aku takut jadi imam. Ntar baca’anku bisa
salah bagaimana coba?)
“yo gag po-po jar. Ngko lak
sholat ojo kesusu 5 wektu. Dicicil disik. Saiki dhuhur + Ashar + Magrib. Mene ditambahi
maneh. Terus kesok’e maneh ditambahi maneh. Dadi suwi-suwi awakdewe biasah
shalat 5 wektu.” Jawab fajar.( iya, tidak apa-apa jar. Nanti kalau sholat
jangan langsung 5 waktu. Dicicil dahulu. Sekarang dhuhur + Ashar + Magrib. Besok
ditambah lagi. Terus esok lusa ditambah lagi. Jadi lama-lama kita terbiasa
shalat 5 waktu).
“iyo rek, ayo jama’ah. Aku suwe
gak tau shalat pisan. Rasane aku pingin shalat saiki. Bek’e mene iso patheng
sholate.”jawab yang lain.(iya rek, ayo jama’ah. Aku lama gak pernah sholat
juga. Rasanya aku pngin shalat sekarang. Siapa tau besok sholatnya bisa penuh).
“iyo gak po-po, timbang gak
tau sholat blas lho. Iyo, dicicil disik wes. Setuju aku lak ngunu.” Seseorang
menimpali.(iya, tidak apa-apa, dari pada tidak pernah sholat sama sekali lho. Iya,
dicicil dahulu aja. Setuju kalau begitu aku)
Tiba-tiba mataku rabun. Air mata telah
membasahi kedua mataku. Aku mengalihkan pandangan ke sudut yang lain. Ya, aku. Aku
yang sudah lupa tuhanku. Aku melupakan sholatku sejak januari lalu. Aku malu ya
Tuhan,, Aku malu.. aku yang sedari beberapa bulan lalu engkau masih beri sejuta
fasilitas untuk dapat bertahan hidup dengan sangat layak masih tetap tidak
mengingatmu. Aku ingkar padamu ya tuhan. Aku lupa, aku lupa kalau aku pernah
engkau beri sejuta kemudahan. Aku lupa..
Rasanya setiap nafas kini sangat
berarti, setiap detik sangat bernilai. Setiap orang yang muncul dalam kehidupan
ini sangat berharga. Ini nasib dan takdir yang kupilih. Dan sejak perbincangan
pagi itu, aku mulai mencoba memenuhi tuntunan shalatku. Aku hanya tidak ingin
menjadi hamba yang hina dan tidak tahu diri. Aku tetap bersujud kepada-Mu,
Tuhanku…
Malang, Maret 2013