post Istimewa

Minggu, 20 November 2011

Kehidupan Orang Terpinggirkan



Ketika aku beranjak dewasa, aku mencoba mencari jati diri dan arti kehidupan ini. Belajar, merupakan caraku untuk mengerti apa yang tak mampu kupahami. Belajar dengan membaca, mendengar dan melihat. Banyak yang kulalui dengan kata “iya” dan “tidak”. Dari itu mulai aku mengerti. Kata “belajar” membuatku berani bermimpi lebih tinggi, melewati batas-batas logika kehidupan. “belajar” pula yang membuatku berlari memburu mimpi. Dan kemudian aku sadar. pada hari sabtu ini, minggu ke-empat bulan September ditahun yang sama saat aku menjadi mahasiswa baru PTN favorit di Jawa Timur. Aku temui sisi yang lain dari kehidupan.
            “Belajar” membuatku memandang sesuatu dengan perspektif lebih tinggi, hingga tanpa sadar melupakan mereka yang lebih rendah. Disebuah dusun Tlogosari namanya, masih diwilayah kota malang. Tapi hidupnya tak ubah seperti masyarakat yang terpinggirkan. Masih banyak dijumpai rumah-rumah dari anyaman bambu, jalan berdebu yang tersusun dari batu-batu yang ditata tanpa diaspal. “Daerah dataran tinggi yang suhunya berbeda antara siang dan malam”, kata seorang warga yang kami wawancarai tadi. Siti aminah namanya. Seorang ibu muda beranak satu yang menikahnya pun diusia muda. Umurnya baru 20thn. Anaknya berumur 4thn, sedangkan suaminya, solikhin berumur 23thn.
            Dalam masyarakat suku Madura memang ada filosofi yang berkembang bahwa menikah muda memang dianjurkan oleh orang tua mereka. Pasalnya untuk mendekatkan hubungan antara garis keturunan keluarga mereka. Hingga sering dijumpai hubungan antara suami dan istri adalah saudara sepupu, atau saudara dari paman dan bibi-bibi mereka. Mungkin juga karena filosofi ini. Lebih banyak suku Madura yang tinggal dipulau jawa. Tetapi hidup mereka kebanyakan hidup dibawah kecukupan. Ibu siti tak ubahnya kebanyakan warga yang lain, dijodohkan diusia muda dengan seorang lelaki biasa dari sukunya. Jauh dari pusat keramaian dan informasi, hingga jauh pula berharap tinggi dari sisi akademik. Dan pada akhirnya jauh pula kehidupan layak darinya.
            Rumahnya dari anyaman bambu, reot, kotor, beratap rendah dan bocor bila hujan datang. Masih  Berlantai tanah, dengan kursi-kursi sederhana, tanpa peralatan elektronik, masih menggunakan tungku kayu. Tekstur tanahnya yang landai dibelakang rumahnya membuat air hujan yang turun dari langit membanjiri dapurnya dan masuk kedalam kamarnya. Rumah kecilnya pun berdiri di tanah orang lain. ibu siti tidak bekerja sedangkan Pendapatan pak solikhin dari bekerja sebagai pembuat batu bata sendiri hanya Rp. 400.000/bulan, gaji yang sedikit itu terkadang tidak cukup untuk hidup selama sebulan bersama keluarga kecilnya. Terkadang suaminya juga bekerja  serabutan. Kendaraan yang mereka punyai pun hanya alas kaki berupa sandal.
            Keadaan dikampung itu pun selain perbedaan antara cuaca disiang dan malam yang mencolok,cair bersih pun susah didapatkan. Beberapa warga yang mampu mempunyai sumur bor sendiri, tapi bagi yang kurang mampu, mereka menumpang ditetangganya. Walaupun begitu, air masih sering mati. Sehingga mereka harus mengambil air didaerah yang lebih rendah dan jauh dari rumah. Atau mereka memanfaatkan air sungai yang letaknya juga jauh untuk keperluan MCK. Jarak antara sumber air dengan rumah mereka sekitar 30menit ditempuh dengan sepeda motor.
            Status sosial bisa didapatkan dengan banyak cara, bisa dengan kekayaan harta atau pun akademik. Namun bagi mereka hal ini tidak penting. Mereka sudaah bisa hidup layak saja sudah bersukur. Bila dipikir ulang, ketidakmampuan mereka karena tingkat pendidikan yang rendah. Karena tingkat pendidikan yang rendah, mereka tidak mempunyai kemampuan dan kecakapan yang baik. Akibatnya perusahaan atau penyedia lowongan pekerjaan enggan menerima mereka. Akhirnya mereka melakukan pekerjaan kasar, dengan upah yang sangat rendah. Pemerintah seharusnya ikut bertanggung jawab atas hal pendidikan ini. Bila pendidikan bisa dijangkau oleh semua golongan masyarakat. Maka secara tidak langsung akan mendukung tingkat pertumbuhan ekonomi akan naik.
            Masyarakat dilingkup R.T./R.W. :01/06 Dsn. Tlogosari yang kami kunjungi merupakan masyarakat suku Madura yang tinggal menetap di wilayah kota malang semenjak kakek dan nenek mereka. tapi ayalnya, sebagian dari mereka hanya mengerti bahasa Madura. Seharusnya mereka juga bisa berbahasa persatuan kita, bahasa Indonesia. Sekalipun mereka buta aksara. Untuk bahasa jawa, walau tidak bisa berbahasa jawa halus, mereka harusnya juga bisa. Karena mereka sudah tinggal lama di pulau jawa yang mayoritas bermasyarakat suku jawa ini. Semuanya seperti kemungkinan, misalkan saja karena mereka masih kukuh dengan bahasa daerah mereka, penduduk asli daerah itu tidak mau berbaur dengan pendatang sehingga seperti terjadi differensiasi kebudayaan. Akibatnya kedua golongan itu menjadi tertutup.
            Selain beberapa sebab lingkungan sosial ekonomi diatas, ditinjau dari pola persebaran penduduk, masyarakat di dusun tersebut berpola linier mengikuti jalan dan memusat. Karena tanah yang mereka tempati di atas dataran tinggi yang mempunyai lereng hanya beberapa derajat saja. Bila kita melihat rumah-rumah penduduk. Tanah antara muka dan belakang rumah tidak rata. Kadang ada yang depan rumah lebih tinggi ataupun sebaliknya. Susahnya kata ibu aminah, tanah dibelakang rumahnnya lebih tinggi dan tanah didepan rumah datar. Akibatnya bila hujan turun air akan masuk kedalam rumah karena rumah dari bambu itu tidaklah lebih tinggi lantainya dari tanah pekarangannya. Ditambah lagi atap rumah banyak yang pecah. Jadi walaupun sudah kena banjir, bocor pula. Rumah yang tidak layak ditinjau dari segi kenyamanan,  kelayakan dan kesehatan.
            Ibu muda itu hanya berharap dari bantuan pemerintah mengenai bantuan fondasi dan tembok depan rumah, selama ini bantuan itu hanya diberikan kepada janda miskin atau orang tua yang sudah sepuh. Tapi bila kita berpikir realistis, bukankah yang berumur lebih muda harus lebih produktif dalam menghasilkan income untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Karena bila yang muda tidak aktif dan terus mengandalkan bantuan pemerintah. Akan semakin banyak pula beban pemerintah mensejahterakan rakyatnya.
Belum lagi masalah listrik, pasokan listrik didaerah itu masih mengandalkan warga yang menyambung dari PLN. Mereka menumpang ditetangga mereka yang mampu dan membayar iuran sebagai gantinya sebesar Rp.15.000/bln. Harapan terbesar mereka adalah mampu hidup layak seperti masyarakat kebanyakan lainnya. Seandainya kemiskinan bisa teratasi secara perlahan tapi pasti, tak ayal kalau Indonesia akan menjadi Negara maju seperti Negara-negara di eropa.